Sabtu, 10 Maret 2012

Berkata Baik Atau Diam


 


Sebenarnya berbicara itu bukanlah termasuk hal yang diperintahkan Allah, dan bukan pula diam. Tetapi yang diperintahkan adalah berbicara dengan baik dan diam dari kejelekan. Bahkan orang-orang soleh terdahulu memuji-muji diam dari kejelekan ini dan juga diam dari hal-hal yang tidak bermanfaat, sikap demikian mereka pilih demi menekan jiwa dari hawa nafsu yang merusak keimanan dan menghantarkan kepada perbuatan dosa.

Lisan apabila tidak dijaga sangat mudah menghantarkan kepada permusuhan yang notabene adalah dosa. Dari lisan inilah akan menimbulkan pertentangan dan perpecahan pada umat manusia. Oleh sebab itu Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam sangat memperhatikan tentang bahaya lasan ini.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata-kata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim).
Begitu beratnya menjaga lisan dari perkataan yang sia-sia, sampai-sampai ulama oleh terdahulu menempatkannya lebih tinggi dari beratnya jihad di medan perang. Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Bukan Haji, bukan ketegaran dikala jihad memerangi musuh, bukan pula jihad itu sendiri yang lebih berat dari pada sekedar mengekang lisan. Sehingga seandainya lisanmu banyak membuatmu bersedih maka itu kamu tengah dirundung kesedihan yang mendalam.” Kemudian Fudhail berkata lagi, “Penjara lisan itu adalah penjara orang mukmin. Seandainnya lisanmu itu membuatmu bersedih maka kala itu kamu memang tengah dirundung kesedihan.”
Inilah lisan, penyebab terbanyak manusia terjerumus kedalam neraka. Sebab kemaksiatan dalam ucapan itu sangat berpotensi disusupi unsur-unsur syirik, yang merupakan dosa terbesar menurut Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan dalam hadits Abi Hurairah secara marfu’:
“Kebanyakan yang menyebabkan manusia itu masuk neraka adalah dua lubang: mulut dan kemaluan.” (diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzy)
Beberapa amalan yang termasuk dalam kategori dosa besar diantaranya kesaksian palsu di mana dalam kesaksian demikian terdapat upaya membenarakan syirik kepada Allah, praktik sihir dan menuduh tanpaalasan, dan beberapa dosa besar maupun kecil lainnya seperti dusta, ghibah dan mengadu domba.
Termasuk dalam kategori ini adalah berkata tentang Allah tanpa pengetahuan yang jelas. Beribadah kepada-Nya tanpa memiliki ilmu, sehingga yang terjadi adalah taklid buta, mengikuti perkataan orang banyak tanpa dasar sandaran yang syar’i. Bahkan melaksanakan syari’ah Allah dengan teori-teori buatan manusia adalah bagian dari syirik.
Oleh karananya, kita harus paham betul manakah lahan/tempat kejelekan sehingga lidah kita tidak keliru memijaknya. Kita harus tahu apakah sebuah hal termasuk dalam bagian dosa bagi lidah kita atau tidak? Bila kita telah tahu, tentunya kita bersegera untuk meninggalkannya.
Diantara medan-medan dosa bagi lidah antara lain,:
Ghibah
Ghibah bila didefinisikan maka seperti yang diungkapkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam: “Engkau menyebutkan tentang saudaramu, dengan apa-apa yang dia benci” terus bagaimana jika yang kita bicarakan tersebut memang benar-benar ada pada saudara kita? “Jika memang ada padanya apa yang engkau katakan maka engkau telah meng-ghibahinya, dan bila tidak ada padanya maka engkau telah berdusta” (HR. Muslim)
Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menggambarkan orang yang meng-ghibahi saudaranya seperti orang yang memakan bangkai saudaranya: “Janganlah kalian saling memata-matai dan jangan mengghibahi antara satu dengan yang lain, sukakah kalian memakan daging saudaranya tentu kalian akan benci.” (QS. Al Hujurat: 12)
Tentu sangat menjijikkan makan daging bangkai, semakin menjijikkan lagi apabila yang dimakan adalah daging bangkai manusia, apalagi saudara kita sendiri. Demikianlah ghibah, ia pun sangat menjijkkan sehingga sudah sepantasnya untuk dijauhi dan dan ditinggalkan.
Terlebih lagi apabila kita mengetahui balasan yang akan diterima pelaku ghibah. Seperti dikisahkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam di malam mi’rajnya. Beliau menyaksikan suatu kaum yang berkuku tembaga mencakar wajah dan dada mereka sendiri. Rasul pun bertanya tentang keberadaan mereka, maka dijawab bahwa mereka lah orang-orang yang ghibah melanggar kehormatan orang lain.
Namimah
Namimah bermakna memindahkan perkataan dari satu kaum kepada kaum yang lain untuk merusak keduanya. Ringkasnya “adu domba”. Namimah bukan hal yang kecil, bahkan para ulama mengkatagorikannya di dalam dosa besar. Ancaman Rasulullah bagi tukang namimah sebagaimana sabdanya: “Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba.” (HR Bukhari)
Akibat ghibah ini sangat besar, dengannya akan terkoyak persahabatan saudara karib dan melepaskan ikatan yang telah dikokohkan oleh Allah. Perpecahan dalam tubuh muslimin saat ini pun tidak terlepas dari upaya manusia-manusia ini, mereka mengakibatkan kerusakan di muka bumi serta menimbulkan permusuhan dan kebencian.
Dusta
Dusta adalah menyelisihi kenyataan atau realita. Dusta bukanlah akhlaq orang yang beriman, bahkan ia melekat pada kepribadian orang munafiq, rasulullah bersabda: “Tiga ciri orang munafik, apabila berkata berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya berkhianat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Lebih buruk lagi jika dusta yang dilakukan mengatas namakan agama. Ini akan membawa malapetaka sebab dia telah sesat kemudian akan menyesatkan banyak orang.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja (mengada-ada dalam urusan agama) maka hendaklah dia duduk di dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apakah Diam Itu Ibadah?
Alangkah indahnya penuturan Ubaidillah bin Abi Ja’far, seorang ahli fikih keturunan Mesir, dalam suatu kesempatan ketika masih menjabat sebagai salah seorang pejabat. Katanya,: “Jika orang itu tengah berbicara dalam sebuah forum kemudian merasa bahwa pembicaraannya membuatnya sedikit sombong maka hendaklah ia memilih diam. Dan jika diam, kemudian merasa diam itu membuatnya sombong maka hendaklah ia berbicara. Hal ini baik untuk dilakukan.”
Maksud perkataan beliau adalah, jika diam dan berbicaranya kita dikarenakan kesombongan dalam diri maka hal tersebut dapat mengantarkan kapada kemurkaan Allah, sebaliknya jika diam dan berbicaranya manusia dikarenakan hal tersebut untuk menyalahi keinginan hawa nafsu dan kesombongannya yang tumbuh dalam dirinya, maka taufik dan petunjuk Allah akan bersamanya. Karena bicara dan diamnya hanya didasarkan pada niat karena Allah semata dan hanya untuk perbuatan amar ma’ruf nahi munkar.
Bagaimanapun juga diam adalah keharusan yang mutlak, dan berbicara baik itu merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mengingatkan kepada kita agar jangan memperbanyak bicara kecuali zikir kepada Allah. (Al-Hadits)

Sebenarnya berbicara itu bukanlah termasuk hal yang diperintahkan Allah, dan bukan pula diam. Tetapi yang diperintahkan adalah berbicara dengan baik dan diam dari kejelekan. Bahkan orang-orang soleh terdahulu memuji-muji diam dari kejelekan ini dan juga diam dari hal-hal yang tidak bermanfaat, sikap demikian mereka pilih demi menekan jiwa dari hawa nafsu yang merusak keimanan dan menghantarkan kepada perbuatan dosa.
Lisan apabila tidak dijaga sangat mudah menghantarkan kepada permusuhan yang notabene adalah dosa. Dari lisan inilah akan menimbulkan pertentangan dan perpecahan pada umat manusia. Oleh sebab itu Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam sangat memperhatikan tentang bahaya lasan ini.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata-kata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim).
Begitu beratnya menjaga lisan dari perkataan yang sia-sia, sampai-sampai ulama oleh terdahulu menempatkannya lebih tinggi dari beratnya jihad di medan perang. Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Bukan Haji, bukan ketegaran dikala jihad memerangi musuh, bukan pula jihad itu sendiri yang lebih berat dari pada sekedar mengekang lisan. Sehingga seandainya lisanmu banyak membuatmu bersedih maka itu kamu tengah dirundung kesedihan yang mendalam.” Kemudian Fudhail berkata lagi, “Penjara lisan itu adalah penjara orang mukmin. Seandainnya lisanmu itu membuatmu bersedih maka kala itu kamu memang tengah dirundung kesedihan.”
Inilah lisan, penyebab terbanyak manusia terjerumus kedalam neraka. Sebab kemaksiatan dalam ucapan itu sangat berpotensi disusupi unsur-unsur syirik, yang merupakan dosa terbesar menurut Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan dalam hadits Abi Hurairah secara marfu’:
“Kebanyakan yang menyebabkan manusia itu masuk neraka adalah dua lubang: mulut dan kemaluan.” (diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzy)
Beberapa amalan yang termasuk dalam kategori dosa besar diantaranya kesaksian palsu di mana dalam kesaksian demikian terdapat upaya membenarakan syirik kepada Allah, praktik sihir dan menuduh tanpaalasan, dan beberapa dosa besar maupun kecil lainnya seperti dusta, ghibah dan mengadu domba.
Termasuk dalam kategori ini adalah berkata tentang Allah tanpa pengetahuan yang jelas. Beribadah kepada-Nya tanpa memiliki ilmu, sehingga yang terjadi adalah taklid buta, mengikuti perkataan orang banyak tanpa dasar sandaran yang syar’i. Bahkan melaksanakan syari’ah Allah dengan teori-teori buatan manusia adalah bagian dari syirik.
Oleh karananya, kita harus paham betul manakah lahan/tempat kejelekan sehingga lidah kita tidak keliru memijaknya. Kita harus tahu apakah sebuah hal termasuk dalam bagian dosa bagi lidah kita atau tidak? Bila kita telah tahu, tentunya kita bersegera untuk meninggalkannya.
Diantara medan-medan dosa bagi lidah antara lain,:
Ghibah
Ghibah bila didefinisikan maka seperti yang diungkapkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam: “Engkau menyebutkan tentang saudaramu, dengan apa-apa yang dia benci” terus bagaimana jika yang kita bicarakan tersebut memang benar-benar ada pada saudara kita? “Jika memang ada padanya apa yang engkau katakan maka engkau telah meng-ghibahinya, dan bila tidak ada padanya maka engkau telah berdusta” (HR. Muslim)
Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menggambarkan orang yang meng-ghibahi saudaranya seperti orang yang memakan bangkai saudaranya: “Janganlah kalian saling memata-matai dan jangan mengghibahi antara satu dengan yang lain, sukakah kalian memakan daging saudaranya tentu kalian akan benci.” (QS. Al Hujurat: 12)
Tentu sangat menjijikkan makan daging bangkai, semakin menjijikkan lagi apabila yang dimakan adalah daging bangkai manusia, apalagi saudara kita sendiri. Demikianlah ghibah, ia pun sangat menjijkkan sehingga sudah sepantasnya untuk dijauhi dan dan ditinggalkan.
Terlebih lagi apabila kita mengetahui balasan yang akan diterima pelaku ghibah. Seperti dikisahkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam di malam mi’rajnya. Beliau menyaksikan suatu kaum yang berkuku tembaga mencakar wajah dan dada mereka sendiri. Rasul pun bertanya tentang keberadaan mereka, maka dijawab bahwa mereka lah orang-orang yang ghibah melanggar kehormatan orang lain.
Namimah
Namimah bermakna memindahkan perkataan dari satu kaum kepada kaum yang lain untuk merusak keduanya. Ringkasnya “adu domba”. Namimah bukan hal yang kecil, bahkan para ulama mengkatagorikannya di dalam dosa besar. Ancaman Rasulullah bagi tukang namimah sebagaimana sabdanya: “Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba.” (HR Bukhari)
Akibat ghibah ini sangat besar, dengannya akan terkoyak persahabatan saudara karib dan melepaskan ikatan yang telah dikokohkan oleh Allah. Perpecahan dalam tubuh muslimin saat ini pun tidak terlepas dari upaya manusia-manusia ini, mereka mengakibatkan kerusakan di muka bumi serta menimbulkan permusuhan dan kebencian.
Dusta
Dusta adalah menyelisihi kenyataan atau realita. Dusta bukanlah akhlaq orang yang beriman, bahkan ia melekat pada kepribadian orang munafiq, rasulullah bersabda: “Tiga ciri orang munafik, apabila berkata berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya berkhianat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Lebih buruk lagi jika dusta yang dilakukan mengatas namakan agama. Ini akan membawa malapetaka sebab dia telah sesat kemudian akan menyesatkan banyak orang.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja (mengada-ada dalam urusan agama) maka hendaklah dia duduk di dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apakah Diam Itu Ibadah?
Alangkah indahnya penuturan Ubaidillah bin Abi Ja’far, seorang ahli fikih keturunan Mesir, dalam suatu kesempatan ketika masih menjabat sebagai salah seorang pejabat. Katanya,: “Jika orang itu tengah berbicara dalam sebuah forum kemudian merasa bahwa pembicaraannya membuatnya sedikit sombong maka hendaklah ia memilih diam. Dan jika diam, kemudian merasa diam itu membuatnya sombong maka hendaklah ia berbicara. Hal ini baik untuk dilakukan.”
Maksud perkataan beliau adalah, jika diam dan berbicaranya kita dikarenakan kesombongan dalam diri maka hal tersebut dapat mengantarkan kapada kemurkaan Allah, sebaliknya jika diam dan berbicaranya manusia dikarenakan hal tersebut untuk menyalahi keinginan hawa nafsu dan kesombongannya yang tumbuh dalam dirinya, maka taufik dan petunjuk Allah akan bersamanya. Karena bicara dan diamnya hanya didasarkan pada niat karena Allah semata dan hanya untuk perbuatan amar ma’ruf nahi munkar.
Bagaimanapun juga diam adalah keharusan yang mutlak, dan berbicara baik itu merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mengingatkan kepada kita agar jangan memperbanyak bicara kecuali zikir kepada Allah. (Al-Hadits)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar