wanita selalu menggoda, namun kadang pula godaan juga karena si pria
yang nakal. Islam selalu sendiri mengajarkan agar tidak terjadi
kerusakan dalam hubungan antara pria dan wanita. Oleh karenanya, Islam
memprotek atau melindungi dari perbuatan yang tidak diinginkan yaitu
zina. Karenanya, Islam mengajarkan berbagai aturan ketika pria-wanita
berinteraksi. Di antara adabnya adalah berjabat tangan dengan wanita non
mahram.
Pendapat Ulama Madzhab Tentang Berjabat Tangan dengan Non Mahram
Mengenai
hukum bersalaman atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan
yang bukan mahram, hal ini terdapat perselisihan pendapat di antara para
ulama. Ada di antara mereka yang membedakan antara berjabat tangan
dengan wanita tua dan wanita lainnya.
Bersalaman dengan wanita tua
yang laki-laki tidak memiliki syahwat lagi dengannya, begitu pula
laki-laki tua dengan wanita muda, atau sesama wanita tua dan laki-laki
tua, itu dibolehkan oleh ulama Hanafiyah dan Hambali dengan syarat
selama aman dari syahwat antara satu dan lainnya. Karena keharaman bersalaman yang mereka anggap adalah khawatir terjerumus dalam fitnah. Jika keduanya bersalaman tidak dengan syahwat, maka fitnah tidak akan muncul atau jarang.
selama aman dari syahwat antara satu dan lainnya. Karena keharaman bersalaman yang mereka anggap adalah khawatir terjerumus dalam fitnah. Jika keduanya bersalaman tidak dengan syahwat, maka fitnah tidak akan muncul atau jarang.
Ulama Malikiyyah mengharamkan berjabat tangan
dengan wanita non mahram meskipun sudah tua yang laki-laki tidak akan
tertarik lagi padanya. Mereka berdalil dengan dalil keumuman dalil yang
menyatakan haramnya.
Sedangkan ulama Syafi’iyyah berpendapat
haramnya bersentuhan dengan wanita non mahram, termasuk pula yang sudah
tua. Syafi’iyah tidak membedakan antara wanita tua dan gadis.
Sedangkan
berjabat tangan antara laki-laki dengan gadis yang bukan mahramnya,
dihukumi haram oleh ulama madzhab yaitu Hanafiyah, Malikiyyah,
Syafi’iyyah dan Hambali dalam pendapat yang terpilih, juga oleh Ibnu
Taimiyah. Ulama Hanafiyah lebih mengkhususkan pada gadis yang membuat
pria tertarik. Ulama Hambali berpendapat tetap haram berjabat tangan
dengan gadis yang non mahram baik dengan pembatas (seperti kain) atau
lebih-lebih lagi jika tidak ada kain. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah,
37: 358-360)
Dalil yang Jadi Pegangan
Pertama, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa ‘Aisyah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata,
“Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai
Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk
mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah,
tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al Mumtahanah: 12).
‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan hal
ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”. Namun
-demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang
wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. ‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah
perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka.
Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).
Kedua, hadits Ma’qil bin Yasar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hadits ini sudah menunjukkan kerasnya ancaman perbuatan tersebut, walau
hadits tersebut dipermasalahkan keshahihannya oleh ulama lainnya. Yang
diancam dalam hadits di atas adalah menyentuh wanita. Sedangkan
bersalaman atau berjabat tangan sudah termasuk dalam perbuatan
menyentuh.
Ketiga,dalil qiyas (analogi).
Melihat
wanita yang bukan mahram secara sengaja dan tidak ada sebab yang syar’i
dihukumi haram berdasarkan kesepakatan para ulama. Karena banyak hadits
yang shahih yang menerangkan hal ini. Jika melihat saja terlarang
karena dapat menimbulkan godaan syahwat. Apalagi menyentuh dan
bersamalan, tentu godaannya lebih dahsyat daripada pengaruh dari
pandangan mata. Berbeda halnya jika ada sebab yang mendorong hal ini
seperti ingin menikahi seorang wnaita, lalu ada tujuan untuk melihatnya,
maka itu boleh. Kebolehan ini dalam keadaan darurat dan sekadarnya
saja.
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Setiap
yang diharamkan untuk dipandang, maka haram untuk disentuh. Namun ada
kondisi yang membolehkan seseorang memandang –tetapi tidak boleh
menyentuh, yaitu ketika bertransaksi jual beli, ketika serah terima
barang, dan semacam itu. Namun sekali lagi, tetap tidak boleh menyentuh
dalam keadaan-keadaan tadi. ” (Al Majmu’: 4: 635)
Dalil yang menyatakan terlarangnya pandangan kepada wanita non mahram adalah dalil-dalil berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
“Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur: 30)
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur: 31)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala
kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari
hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang
dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahramnya).
Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram.
Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak
sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216)
Ketika menafsirkan ayat
kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan,”Firman Allah (yang artinya)
‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka
menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari
apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain
suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh
seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahramnya,
pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya
berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa
syahwat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216-217)
Dari Jarir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera
memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 2159)
Khatimah
Dalil-dalil
di atas tidak mengecualikan apakah yang disentuh adalah gadis ataukah
wanita tua. Jadi, pendapat yang lebih tepat adalah haramnya menyentuh
wanita yang non mahram, termasuk pula wanita tua. Realitanya yang kita
saksikan, wanita tua pun ada yang diperkosa. Sedangkan untuk gadis, no way, tetap dinyatakan haram untuk menyentuh dan berjabat tangan dengannya.
Hal
di atas menunjukkan bahwa wanita benar-benar dimuliakan dalam Islam
sehingga tidak ada yang bisa macam-macam dan berbuat nakal. Karena
itulah wanita, benar-benar dimuliakan dalam ajaran Islam. Wanita dalam
Islam adalah ibarat ratu. Adakah yang berani nyelonong-nyelonong dan menjabat tangan seorang ratu –seperti Ratu Elizabeth-? Tentu saja tidak berani. Demikianlah mulianya wanita di dalam Islam.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad, hanya Allah yang memberi taufik untuk menjauhi yang haram.
@ KSU, Riyadh, KSA, 23 Rabi’ul Awwal 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar