Sesungguhnya segala puji itu milik Allah. Kami memuji-Nya,
memohon pertolongan kepada-Nya dan berlindung kepada Allah dari
kejahatan diri kami dan keburukan amal-amal kami. Barang siapa diberi
petunjuk Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkan. Dan barang siapa
disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat menunjukinya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali ‘Imran :102)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa
menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar”. (QS. Al Ahzab : 70-71)
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah
menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisa’ : 1)
Dan aku bersaksi bahwa tiada llah kecuali Allah saja, tiada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya,
yang telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah dan memberi nasehat
kepada umat. Mudah- mudahan kesejahteraan dan keselamatan dicurahkan
Allah kepada junjungan kita Muhammad saw, kepada keluarganya serta
sahabat-sahabatnya,
Wa ba’du:
Berkata Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah (9/320): “Telah bercerita
kepada kami ‘Ali, ia berkata telah berbicara kepada kami Ibnu ‘Aliyah
dari Humaid dari Anas, ia berkata: “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah berada di tempat sebagian istrinya. Lalu salah satu dari
Ummul Mukminin mengirim piring yang berisi makanan, maka istri Nabi yang
sedang berada di rumahnya memukul tangan pelayan itu, sehingga jatuhlah
piring tersebut dan pecah. Kemudian Nabi memunguti pecahan piring dan
makanan, sambil mengatakan: ((غَارَتْ أُمُّكُمْ)) “Ibu kalian cemburu.”
Lalu beliau menahan pelayan tersebut sampai beliau menggantinya dengan
piring milik istri yang beliau sedang di rumahnya. Lalu beliau
memberikan piring yang utuh kepada istri yang piringnya pecah, dan
menahan piring yang sudah pecah di rumah istri yang telah memecahkan
piring tersebut.”"
Kata اَلْغِيْرَةُ (cemburu) adalah pecahan dari kata تَغَيُّرُ
القَلْبُ (berubahnya hati/tidak suka) dan هَيْجَانُ الغَضَبُ
(berkobarnya kemarahan), karena adanya persekutuan (persaingan) dalam
hal-hal yang dikhususkan. Dan yang paling dahsyat adalah yang terjadi
antara suami dan istri sebagaimana dalam Al-Fath (9/320).
Dan cemburu itu ada dua macam: yang terpuji dan yang tercela. Cemburu
yang terpuji adalah cemburu yang tidak melewati batas syari’at. Sedang
cemburu yang tercela adalah cemburu yang melewati batas syari’at. Maka
jika kecemburuan itu melewati batas syari’at akan menjadi tercela karena
ia akan mendorong pelakunya untuk menuduh orang lain, terutama tuduhan
suami terhadap istrinya. Padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Dan di dalam Shahihain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((إِيَّكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيْثِ))
“Jauhi oleh kalian prasangka karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dusta pembicaraan.”
Demikian juga kecemburuan istri pada suaminya adalah terpuji selama
tidak melewati syari’at. Di antara ujian bagi istri adalah hebatnya rasa
cemburu jika suaminya hendak menikah lagi. Bahkan karena dahsyatnya
kecemburuan seorang istri terhadap suaminya sering menyeretnya kepada
perbuatan yang diharamkan Allah, misalnya dengan melakukan praktek sihir
agar suaminya benci kepada madunya. Padahal sihir itu adalah kekufuran,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa
kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan
sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya
setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan
sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat
di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan
(sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami
hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.”
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan
sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan
sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka
mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak member
manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang
menukarkan (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan
di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan
sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan
bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala
dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.”
(Al-Baqarah: 102-103)
Imam Bukhari rahimahullah mengatakan (5/393): “Telah bercerita kepada
kami ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah, ia berkata telah bercerita kepada kami
Sulaiman bin Bilal dari Tsaur bin Zaid Al-Madini dari ‘Abdul Ghaits
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:
((اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ)) قَلوا: يا رسول الله!
وَمَا هنَّ؟ قال: (( الشِرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ
الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ
اليَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ
المُؤْمِنَات الغَافِلاتِ)
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Para shahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah, apa gerangan (yang tujuh) itu?” Beliau
menjawab: “(Yaitu) menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang
diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang haq, makan riba, makan
harta anak yatim, melarikan diri dari peperangan, menuduh wanita
baik-baik yang lengah lagi beriman (berbuat zina).”
Berkata Al-Hakim rahimahullah (4/217): “Telah bercerita kepada kami
Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah Az-Zahid Al-Ashbahani, ia berkata
telah bercerita kepada kami ‘Ubaidillah bin Musa, ia berkata telah
bercerita kepada kami Israil dari Maisarah bin Habib dari Al-Minhal bin
Amir dari Qais bin As-Sakan Al-Asadi, ia berkata: “Masuklah ‘Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ke tempat seorang wanita (salah satu
keluarganya) dan dia melihatnya memakai jimat dari al-hamrah. Lalu
‘Abdullah bin Mas’ud memotongnya dengan keras dan mengatakan:
“Sesungguhnya keluarga ‘Abdullah tidak butuh pada syirik. Dan
mengatakan: ‘Termasuk perkara yang kami jaga dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam (adalah sabdanya):
((أَنَّ الرُّقَى وَالتَّمَاإِمَ وَالتِّوَلَةَ مِنَ الشِرْكِ))
“Sesungguhnya mantera-mantera, dan tamaim/jimat dan tiwalah1 adalah
syirik.” Hadits ini hasan sebagaimana dalam Ash-Shahihul Musnad (2/18).
Dan dalil-dalil lainnya yang menunjukkan kekufuran penyihir,
bahwasanya diharamkan untuk melakukan apapun dari perbuatan tukang
sihir, dan seorang tukang sihir tidak mungkin belajar sihir kecuali
dengan perantaraan para setan. Kemudian mudharat (keburukan) dan manfaat
datangnya dari Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Katakanlah: ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu
seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku,
apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau
jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan
rahmat-Nya?’ Katakanlah: ‘Cukuplah Allah bagiku.’ Kepada-Nyalah
bertawakkal orang-orang yang berserah diri.”
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tipa-tiap sesuatu.” (Al-An’am: 17)
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tipa-tiap sesuatu.” (Al-An’am: 17)
Dan dalam ayat lainnya:
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Fathir: 2)
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Fathir: 2)
Jadi, mudharat dan manfaat adalah di tangan Allah. Maka orang yang
menggunakan sihir, jika dia berkeyakinan bahwa dia bisa menimbulkan
mudharat atau mendatangkan manfaat di samping Allah maka diakafir,
karena ia mendustakan Al-Qur’an. Dan jika tidak berkeyakinan seperti
itu, akan tetapi menggunakannya sebagai sebab, maka itu adalah suatu
bentuk kesesatan, karena yang boleh dijadikan sebab aalah perkara yang
mubah. Dan jika engkau melakukan hal itu berarti engkau telah
mendahulukan kehidupan dunia di atas kehidupan akhirat. Barangsiapa yang
lebih menyukai kehidupan dunia di atas kehidupan akhirat maka ia sesat
dengan kesesatan yang nyata. Dan ia rugi dunia serta akhirat. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).”
(An-Nazi’at: 37-39)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keutungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Asy-Syura: 20)
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keutungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Asy-Syura: 20)
Oleh sebab itu waspada dan berhati-hatilah dari kecelakaan besar ini,
jangan sampai setan memperdayamu hanya karena ingin mendapatkan
kelezatan dunia dan kesenangan yang bakal sirna yang akhirnya kamu
terjerumus ke dalam kekufuran. Hanya Allah satu-satunya tempat
berlindung.
Maka demi Allah wahai wanita, para hamba Allah, suamimu tidak akan
memberi manfaat bagimu dan hisablah dirimu sendiri sebelum engkau
dihisab. Dan tidak jarang hal itu mendorong sebagian wanita
berangan-angan seandainya poligami (beristri lebih dari satu) tidak
pernah disyari’atkan. Sedangkan yang lain, hal tersebut mungkin
membuatnya benci kepada syari’at karena dibolehkannya poligami (bagi
pria). Adapula yang barangkali mengharapkan suaminya mati saja, jika dia
ingin beristri lagi. Dan berapa banyak yang seperti ini!!
Sebagian wanita lainnya tidak dapat berbuat apa-apa (tidak melakukan
pertentangan ketika suaminya kawin lagi, -pent.), akan tetapi lisannya
selalu menyerang madunya dengan cacian, ghibah, dan namimah, maka kepada
Allah satu-satunya tempat bagi kita untuk minta pertolongan.
Adapun wanita yang beriman sikapnya terhadap masalah ini adalah
mengakui dan menyadari bahwa apa yang ada, dan terjadi di alam ini
adalah taqdir/ketetapan Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Al-Ahzab: 38)
“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Al-Ahzab: 38)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49)
Betapapun kamu ditimpa suatu musibah di dunia ini, tidak ada artinya
kalau disbanding dengan keselamatan dienmu (imanmu), hendaknya kamu
banyak berdo’a. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Rabbmu berfirman: ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu…’” (Ghaafir: 60)
Hendaknya kamu berusaha melawan perasaan yang muncul di hatimu untuk
menyusahkan madumu, padahal ia seorang wanita seperti kamu juga maka
untuk apa kamu engkau sampai pada perbuatan itu? Dan kalau kita mau
berpikir wahai para wanita, tentulah kita tidak akan menyibukkan diri
kita dengan hal itu. Padahal kecemburuan seperti ini juga muncul pada
istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dilebihkan
oleh Allah melalui firman-Nya:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.” (Al-Ahzab: 32)
Sebagai contoh kecemburuan mereka adalah pada hadits yang telah lalu. Juga dalam Shahihain dari hadits ‘Aisyah, ia berkata:
“Tidaklah aku cemburu pada seseorang dari istri-istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal
aku tidak pernah melihatnya sekalipun. Akan tetapi beliau sering sekali
menyebutnya, dan sering kali beliau menyembelih kambing kemudian
memotongnya sebagian dan diberikan kepada teman-teman Khadijah maka aku
katakana: ‘Seolah-olah tidak ada di dunia ini kecuali Khadijah.’ Maka
beliau jawab: ‘Sesungguhnya ia dahulu ada dan darinya aku mempunyai
anak.’”
Berkata Al-Iman Bukhari rahimahullah (7/134): “Dan berkata Isma’il
bin Khalil, ia berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Ali bin Musher
dari Hisyam dari bapaknya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Halah binti Khuwailid -saudaranya Khadijah- meminta izin menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengenal minta
izin (saudaranya) Khadijah, maka beliau gembira karena itu dan
mengatakan: ‘Ya Allah (ternyata) engkau Halah.’ Ia (‘Aisyah) berkata:
‘Maka aku menjadi cemburu, lalu aku katakan: ‘Engkau tidak menyebut
seorang tua dari orang tua Quraisy yang merah kedua sudut mulutnya,
sehingga Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik."
Dan makna merah kedua sudut mulutnya adalah kinayah dari ompong
gigi-giginya, ini dikatakan oleh Al-Hafizh dan juga An-Nawawi serta
lainnya. Sedangkan perkataan ‘Aisyah pada hadits yang sebelumnya:
“Tidaklah aku cemburu…”, berkata Al-Hafizh (7/136): “Padanya terdapat
kepastian adanya sikap cemburu, dan itu bukan sesuatu yang diingkari
bila terjadi pada wanita-wanita yang mulia, lebih-lebih selain mereka.”
Berkata Al-Imam Bukhari (9/310): “Telah bercerita kepada kami Abu
Nu’aim, ia berkata telah bercerita kepada kami ‘Abdul Wahid bin Aiman,
ia berkata telah berkata kepadaku Ibnu Abi Mulaikah dari Al-Qasim dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak safar beliau
mengundi di antara istri-istrinya kemudian undian itu jatuh kepada
‘Aisyah dan Hafshah. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila tiba
waktu malam beliau (biasa) berjalan bersama ‘Aisyah sambil
berbincang-bincang, maka berkatalah Hafshah: ‘Maukah kamu malam ini naik
tungganganku dan aku menaiki kendaraanmu, kamu melihat dan aku melihat
(pemandangan yang berbeda -ed)?’ ‘Aisyah berkata: ‘Tentu.’ Maka naiklah
ia dan datanglah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke onta ‘Aisyah yang
di atasnya terdapat Hafshah, beliau memberinya salam, kemudian berjalan
sehingga sampai ke suatu tempat dan ‘Aisyah kehilangan beliau. Ketika
mereka turun, ‘Aisyah letakkan kedua kakinya di antara al-idzkhir, dan
berkata: ‘Wahai Rabbku, aku mampu (menahan sakit disengat) kalajengking
atau seekor ular, (tetapi) aku tidak mampu untuk mengatakan sesuatupun
kepada beliau (karena cemburu).’
Demikian pula cemburu yang dijumpai pada wanita selain mereka dari
kalangan shahabat yang mempunyai keutamaan. Berkata Al-Imam An-Nasai
(6/69): “Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, ia berkata
telah bercerita kepada kami An-Nadhr, ia berkata telah bercerita kepada
kami Hammad bin Salamah dari Ishaq bin ‘Abdullah dari Anas mereka
mengatakan:
يا رسول الله ألا تتزوَّج من نساء الأنصار.: ((إِنَّ فِيهِمْ لَغَيْرَةً شَدِيدَةً))
“Wahai Rasulullah tidakkah engkau menikahi wanita Anshar?” Beliau
menjawab: “Sesungguhnya pada mereka ada kecemburuan yang sangat besar.”
Hadits ini shahih.
Sedangkan terjadinya kecemburuan pada kita sangat lebih memungkinkan,
maka yang wajib (bagi kita) adalah bersabar. Bahkan termasuk buah
keimanan terhadap taqdir adalah sikap sabar sebagaimana dikatakan oleh
Ayahanda dan syaikh (guru)-ku dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shahih fil
Qadar. Dan perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla semuanya mengandung hikmah,
sedangkan hikmah itu kadang nampak dan terkadang tidak nampak.
Di antara hikmah beristri lebih dari satu (poligami):
1. Dengan banyaknya istri akan memperbanyak keturunan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((تَنَاكَحُوا تَنَاسَلُوا؛ فَإِنِّي مُبَاةٍ بِكُمُ الأُمَمَ))
“Menikahlah kalian dan buatlah keturunan karena aku berbangga dengan kalian di depan umat-umat yang lain.”
2. Terkadang wanita itu ada yang mandul tidak bisa beranak, maka
manakah yang lebih utama? Apakah mencerainya atau tetap bersamanya
menikah lagi, manakah yang lebih utama? Membiarkan suami tanpa keturunan
atau dia menikah lagi? Jawabnya, yang lebih utama adalah tetap
bersamanya dan membiarkannya menikah lagi.
3. Wanita pada saat nifas dan haidnya seringkali suami tidak bisa
sabar menahan sehingga akan menyeretnya pada sesuatu yang haram, dan
jalan keluar dari masalah ini adalah dengan suami menikah lagi.
4. Kadang pada wanita ada beberapa aib (kekurangan) maka yang lebih utama adalah suami menikah lagi dan tidak menceraikannya.
5. Bisa jadi wanita seringkali sakit, maka yang lebih utama adalah
suami menikah lagi dan tidak menceraikannya, atau mungkin ia sabar atas
istrinya akan tetapi dia tidak kasihan terhadap dirinya.
6. Banyaknya istri (poligami) akan mempererat hubungan beberapa keluarga. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Allah (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah2 dan adalah Rabbmu
Maha Kuasa.” (Al-Furqan: 54)
7. Seorang wanita itu harus ada orang yang memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya berupa nafkah dan lainnya, maka dengan poligami
seorang suami yang akan melaksanakan hal itu. Dan ilmunya berada di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallohu ta’ala a’lam bishshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar