Rabu, 29 Februari 2012

Kisah Keluarga Pejuang

Di bawah ini sebuah kisah dari Ibnu Jauzi dalam kitab Shifatus Safwah dan Ibnu Nuhas dalam Masyariqul Asywaq tentang seorang pria bernama Abu Qudamah Asy-Syami, seorang pria yang jiwanya amat mencintai jihad dan perang fi sabilillah…

Suatu saat dia duduk-duduk di sekeliling masjid nabawi, ketika salah seorang sahabatnya bertanya, “Hai Abu Qudamah, engkau seorang pria yang sangat mencintai jihad dan perang fi sabilillah. Bisakah anda ceritakan kepada kami suatu peristiwa yang amat menakjubkan di tengah-tengah peristiwa jihad dan perang fi sabilillah?” Dengan semangat, Abu Qudamah mulai bercerita, aku akan bercerita kepada kalian…
Suatu kali aku ke luar bersama para sahabatku untuk memerangi kaum salibis di suatu perbatasan. Dalam perjalananku menuju ke tempat itu, aku melintasi suatu kota bernama Riqqah (suatu kota di Irak di atas sungai Eufrat). Di tempat itu aku membeli seekor unta untuk membawa senjata-senjataku dan akupun mengambil kesempatan untuk memberikan dorongan dan nasihat kepada masyarakat di masjid-masjid untuk berjihad dan berinfak fi sabilillah.
Saat malam mulai menyelimuti kota, aku menyewa suatu rumah untuk bermalam. Ketika sebagian waktu malam mulai berlalu, tiba-tiba pintu rumah yang aku sewa diketuk seseorang, akupun keluar dan membuka pintuku. Namun aku agak terperanjat, karena di depan pintuku ternyata seorang wanita yang terjaga dan tertutup oleh hijabnya.
Akupun bertanya kepada wanita itu, “Apa keperluan anda?” Tapi dia malah bertanya, “Anda Abu Qudamah?” Aku jawab, “Ya.” Wanita itu kembali bertanya, “Andakah orang yang mengumpulkan harta pada hari ini untuk menjaga perbatasan negeri?” Aku jawab, “Ya.” Tiba-tiba wanita itu menyerahkan satu kardus dan bungkusan yang terikat kepadaku, lalu dia pergi sambil menangis.
Akupun memeriksa dan membuka kardus dan bungkusan itu. Tiba-tiba aku lihat di dalamnya terdapat tulisan yang berbunyi, “Anda mengajak kami untuk berjihad, sedangkan aku tak memiliki kemampuan untuk itu, maka dengan ini aku memotong sesuatu yang terbaik yang aku miliki, yaitu dua ikatan rambutku. Keduanya kuserahkan kepadamu agar digunakan untuk cambuk kudamu, semoga Allah melihat rambutku menjadi cambuk kudamu, lalu Dia mengampuni aku dengan sebab itu.” Aku takjub sekali dengan semangat pengorbanan dan kerinduan wanita itu terhadap surga dan ampunan Allah untuknya.
Lalu, di pagi harinya aku dan sahabat-sahabatku berangkat keluar dari Riqqah. Saat kami mencapai benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba seorang penunggang kuda dari kejauhan berteriak memanggilku, “Hai Abu Qudamah…!!! Hai Abu Qudamah…!!! Tunggu aku (yarhamukallah..)” Maka, aku berkata kepada para sahabatku, “Berangkatlah kalian lebih dahulu, aku akan menunggu penunggang kuda itu.”
Saat penunggang kuda itu mendekatiku, dia mulai bicara kepadaku, “Alhamdulillah, yang tidak mencegah aku menemuimu dan tidak mengembalikan aku tanpa hasil.” Lalu aku bertanya kepadanya, “Apa yang anda inginkan?” Laki-laki itu menjawab, “Aku ingin ikut serta berperang bersamamu.” Akupun bertanya lagi, “Buka sorbanmu agar aku bisa melihatmu. Jika kau sudah dewasa dan layak berperang, aku akan menerimamu. Jika engkau masih kecil dan tidak layak jihad, aku akan menolakmu.” Maka laki-laki itu membuka penutup wajahnya, akan tetapi aku melihat wajahnya seperti bulan karena umurnya yang masih muda sekitar 17 tahun. Akupun berkata kepadanya, “Hai anakku, anda punya ayah?” Dia menjawab, “Ayahku dibunuh oleh para tentara salib, dan aku keluar untuk membunuh mereka yang membunuh ayahku.” Aku bertanya lagi, “Anda punya ibu?” Dia menjawab, “Ya.” Aku dengan cepat berkata kepadanya, “Pulanglah ke ibumu, layani dia dengan hormat, karena surga di bawah mata kakinya.” Akan tetapi dia berkata, “Engkau tidak mengenal ibuku?” Aku menjawab, “Tidak!” Dia berkata lagi, “Ibuku adalah wanita yang menitipkan sesuatu kepada anda.” Aku bertanya lagi, “Titipan apa?” Dia menjawab, “Dia pemilik bungkusan.” Akupun bertanya lagi, “Bungkusan apa?” Dia menjawab, “Subhanallah, cepat sekali anda lupa.. Anda tidak ingat seorang wanita yang datang tadi malam dan memberikan anda sebuah kardus dan bungkusan?” Aku menjawab, “Ya, aku ingat..” Maka, laki-laki itu berkata, “Itu ibuku. Beliau perintahkan aku untuk keluar berjihad dan bersumpah agar aku jangan kembali lagi ke rumah. Beliau berkata kepadaku, “Hai putraku, Jika engkau berjumpa orang-orang kafir, jangan mundur, persembahkan dirimu untuk Allah. Carilah bertetangga dengan-Nya, tinggallah bersama bapakmu dan paman-pamanmu di surga. Jika Allah memberikan rizki mati syahid kepadamu, maka berilah syafa`at untukku. Kemudian dia memelukku di dadanya dan mengangkat kepalanya ke langit sambil berkata, “Ya Ilahi, Sayyidi wa maulaya, ini adalah anakku, buah hatiku, belaian jiwaku, aku serahkan dia kepada-Mu, dekatkanlah dia bersama ayahnya.”
Kemudian, lanjut pemuda itu,“Tolong, aku minta karena Allah. Jangan cegah aku untuk jihad fi sabilillah bersamamu, ya Abu Qudamah, InsyaAllah aku akan menjadi seorang syahid anak seorang syahid. Aku hafal Kitabullah, paham cara perang dan menggunakan senjata. Jangan remehkan aku hanya kerena umurku.”
Mendengar kata-katanya yang mengharukan itu, aku (Abu Qudamah) segera mengajaknya ikut serta. Demi Allah tak pernah aku melihat seseorang yang amat semangat seperti dia. Jika dia menggunakan kuda, dia adalah pemacu tercepat. Jika kita singgah di suatu tempat, dia adalah orang yang tidak pernah lelah. Sedangkan lisannya tak pernah berhenti berdzikir kepada Allah di setiap kondisi apapun.
Saatnya tiba, dalam sebuah pertempuran yang dahsyat, sebuah teriakan keras menggema di arena pertempuran, “Aku lihat sebuah istana bermandikan cahaya… Batu-batunya dari emas dan perak yang mulia… Tiang-tiangnya dari permata dan batu-batu mulia… Pintu-pintunya dari emas… Hordeng-hordeng indah menutupi tiang-tiangnya… Ada para gadis muda yang mengangkat hordeng-hordengnya… Wajah-wajah mereka seperi bulan purnama… Majulah wahai orang yang semoga Allah merahmatinya… Di atas istana itu terdapat kamar dari emas merah… di dalamnya ada ranjang-ranjang yang terbuat dari permata hijau yang gemerlap… Tiang-tiang ranjangnya dari perak-perak putih bercahaya… Di atasnya ada gadis-gadis bidadari seperti matahari… Seandainya Allah tidak mengokohkan mataku, niscaya dia akan lenyap begitu juga akalku karena indahnya kamar-kamar itu dan cantik jelitanya sang bidadari mulia… Lihatlah…!!! Bidadari itu melihatku, dia berkata, “Selamat datang wahai kekasih dan wali Allah… Aku milikmu dan engkau milikku. Saat dia mendekati aku, dia ingin berkata, “……,”” Pelan-pelan teriakan itu lenyap.
Kemudian, semua terhenti. Para punggawa bertempur dahsyat. Pertempuran bergelora hebat. Senjata-senjata beradu kuat. Pedang-pedang terhunus tajam. Tombak terlontar menghujam. Tangan-tangan dan kaki-kakipun berserakan terputus dari badan. Allahu Akbar.. Allahu Akbar Laa Izzata illa bil jihad. Entah syuhada mana yang diperkenankan Allah dapat melihat bidadari yang memanggil sebelum ajal menjemputnya.
Saudaraku.., jihad adalah berlelah – lelah mengerahkan segala kemampuan dan kepemilikan secara maksimal dalam menjadikan kalimat Allah sebagai kedaulatan tertinggi dalam kehidupan manusia secara kaffah dengan berbagai marhalah yang harus ditempuhnya. Marhalah jihad bisa dalam bentuk dakwah dan tarbiyyah, baik sirri (sembunyi-sembunyi) maupun jahri (terang-terangan) bahkan bisa pula dalam bentuk kital atau pertempuran fisik, semua harus mengikuti syarat-syarat hukum taklifi dan wad`inya.
Saudaraku.., jihad adalah syari`at Allah yang merupakan bagian penting dari manifestasi akidah iman dalam wujud wala’ wal bara’.
Alangkah besar dan agungnya faedah yang akan kita raih dalam menempuh syari`at yang agung ini. InsyaAllah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar