Satu Ya Rabbi, entah siapa yang
tadi aku lihat. Malaikatkah? atau mungkin seorang alim yang menjelma
seperti Malaikat? Entahlah. Tapi yang pasti, hatiku langsung berdetak
kencang tatkala kedua mataku menatap tak sengaja wajah putih bersih nan
berwibawa itu yang sempat melintasi penglihatanku. Sampai sekarang,
sosok ‘malaikat’ itu masih melekat dalam benakku. Sore tadi, Mama
mengajakku kerumah salah seorang sahabatnya yang tengah sakit. Awalnya
aku menolak karena memang editan tulisanku belum selesai aku revisi
kembali. Besok lusa harus segera aku serahkan ke pihak penerbit untuk
dipelajari dan untuk selanjutnya di terbitkan menjadi sebuah buku novel
yang siap untuk dibaca. Aku seorang penulis novel yang memang belum
terlalu termasyhur seperti Habiburrahman El Shirazy, Azimah Rahayu,
Helvy Tiana Rossa, dan masih banyak nama-nama penulis lainnya yang
menjadi penulis idolaku sekaligus menjadi inspirasiku dalam menulis. Dua
novelku sudah beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati dan yang kedua berjudul Episode Jingga.
Alhamdulillah kedua novelku itu laris manis di pasaran. Dan sekarang,
aku sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih aku
rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang mengajakku pergi
menjenguk temannya yang sedang sakit, jadilah aku merubah semua jadwalku
duduk didepan komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut mama
pergi menjenguk temannya. Mau bilang apa lagi? toh kalau mama sudah
beralasan,”Dinda, nanti kalau sampai penyakit mama kumat di jalan,
bagaimana?”. Hfh…tak tega rasanya kalau sampai penyakit asma mama kumat
ditengah jalan. Semoga saja tidak. Aku berangkat bersama mama tepat
setelah shalat Ashar kami tunaikan. Aku tidak pernah tahu teman mama
yang satu ini. Mama bilang dia itu bernama Ibu Rahayu. Teman mama semasa
kuliah dulu. Aku hanya mendengarkan mama bercerita banyak tentang
sahabatnya itu yang katanya lumayan cantik dan mempunyai seorang suami
yang juga tampan dan seorang anak laki-laki yang menurut mama sangat
cocok untuk dijadikan seorang menantu. ”Bu Rahayu itu punya seorang anak
laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah
untuk dijadikan seorang menantu” Hfh…aku hanya menghela nafas mendengar
celotehan mama yang menurutku hanya sebuah pengharapan seorang ibu yang
menginginkan anak perempuannya segera menikah. Menikah. Semua gadis yang
sudah cukup umur juga pasti berharap ingin segera mempunyai pendamping
hidup yang sesuai dengan kriterianya. Ya…minimal seseorang yang baik,
sholeh, bertanggung jawab, dan dapat menerima keadaan diri apa adanya.
Tapi kalau memang belum jodoh mau diapakan lagi? Aku hanya berharap
seorang yang soleh yang bersedia menjadi suamiku.
* * *
Tepat disebuah rumah bernuansa minimalis kami turun dari mobil yang
aku kendarai sendiri. Diluar sudah ada seorang perempuan paruh baya yang
membukakan pintu rumah untuk kami. Ibu itu lalu menyuruh kami masuk
karena dia sudah tahu bahwa kami akan datang untuk menjenguk Ibu Rahayu.
Sekantong buah-buahan aku serahkan padanya. Diapun segera mengantar
kami memasuki kamar Bu Rahayu. Di dalam aku melihat seorang ibu yang
sudah sedikit tua dengan wajah pucat pasinya berbaring diatas tempat
tidur berselimutkan kain yang sangat tebal. Kepalanya ia tutup dengan
sebuah kerudung pendek. Dialah Bu Rahayu. Senyumnya segera menyambut
kami ketika ia lihat wajah kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu
Rahayu segera berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah
beberapa tahun tidak bertemu. Tangis kebahagiaanpun membuncah disana.
Aku hanya bisa menatap mereka dengan penuh haru. Beberapa saat lamanya
aku menjadi orang yang terasing didalam kamar itu. Tiba-tiba Bu Rahayu
menegurku dengan sapaan yang lembut. Tegurannya itu membuat aku tersadar
dari lamunanku. ”Ini pasti Dinda ya?” Tanya Bu Rahayu. ”I..iya bu..”
Jawabku tergagap. Aku segera meraih tangannya dan kucium. Aku kembali
tersenyum padanya. ”Sudah besar ya? Berapa usia kamu sekarang?” Tanya Bu
Rahayu lagi yang membuat aku ragu-ragu untuk menjawabnya. ”Ehm…27 tahun
bu” Sahutku tanpa semangat yang membara. Entah mengapa setiap kali ada
seseorang yang menanyakan berapa usiaku, aku selalu menjawabnya tanpa
mempunyai semangat. Mungkin karena sampai sekarang aku belum juga
menikah. ”Tahu darimana Lis kalau aku sakit?” Tanya Bu Rahayu pada Mama.
Aku menarik kursi yang disediakan oleh ibu tua tadi sambil mendengar
jawaban Mama. ”Dari Rudi. Kebetulan kemarin aku bertemu dia di pasar.
Dan dia bilang katanya kamu sakit. Memang kamu sakit apa sih Yu?” Mama
balik bertanya. ”Tahulah Lis. Aku juga bingung sendiri dengan sakitku”
Jawab Bu Rahayu dengan mata berkaca-kaca. Sesaat kutangkap sepertinya
ada yang mengganjal dalam hatinya. Diapun mulai bercerita. ”Beberapa
hari yang lalu ada yang menawarkan seorang muslimah padaku untuk
dijadikan istri oleh anakku….” ”Oh iya, mana anakmu itu? Kok tidak
kelihatan? Siapa namanya?” Cerocos Mama memotong pembicaraan Bu Rahayu.
Bu Rahayu menghela nafasnya dan menjawab dengan nada datar. Aku
memperhatikannya dengan seksama. ”Anakku itu bernama Yusuf Abdul Fattah.
Masa kau lupa sih Lis?” ”Oh iya! Maaf..maaf, namanya juga orang tua.
Lanjutkan Yu!” Kata Mama seraya menyuruh Bu Rahayu untuk melanjutkan
ceritanya. ”Aku sempat melihat gadis itu. Wajahnya cantik, perilakunya
baik, ahklaknya pun bagus. Dia berjilbab, sama seperti Dinda” Lanjut Bu
Rahayu sambil melirik kearahku ketika dia menyebutkan namaku. Aku hanya
tersenyum dan meneruskan mendengar cerita Bu Rahayu. ”Setelah aku
tawarkan pada si Yusuf, lha kok dia malah menolak. Katanya, kurang cocok
dengan seleranya. Asal kamu tahu saja ya Lis, ini untuk yang kelima
kalinya dia menolak untuk dinikahkan. Kamu tahu sendiri, usianya Yusuf
itu tidak beda jauh dengan usianya Dinda. Apalagi coba yang mau dicari
dengan umur segitu kalau bukan istri. Aku sampai stres memikirkannya dan
akhirnya aku jatuh sakit. Nah itulah penyebab sakitku saat ini” Ucap Bu
Rahayu menutup ceritanya. Sesekali kulihat dia membenarkan posisi
duduknya yang bersandar pada sebuah bantal. ”Sekarang dia kemana bu?”
Tanyaku tiba-tiba saja. Aku juga kaget. Kenapa aku menanyakan hal itu?
Aku sendiri tidak tahu alasannya. ”Sekarang dia sedang menebus obat ibu
di apotik. Perginya sih dari tadi, mungkin sebentar lagi juga pulang”
Jawab Bu Rahayu tenang. Suasana kembali lagi seperti semula. Mama dan Bu
Rahayu kembali larut dalam perbincangan masa lalunya, sedangkan aku
hanya dapat mendengarkan mereka berbincang tentang suatu hal yang baru
bagiku. Beberapa saat lamanya waktu berjalan, tiba-tiba dari luar kamar
terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam dan membuka pintu
secara perlahan. Aku, Mama, dan Bu Rahayu pun segera mengarahkan
pandangan kami ke arah suara itu. Perlahan-lahan pintu itu terbuka
dan…Subhanallah! Seorang laki-laki tampan dengan kemeja dan celana
bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat. Aku berdiri dari
dudukku tanpa melepaskan pandanganku dari laki-laki itu. Sesaat lamanya
aku menatap dia yang sedang mencium tangan Bu Rahayu kemudian
mengatupkan kedua tangannya pada Mama. Aku seperti terbius oleh
keindahan zahirnya. Aku tersadar tatkala dia mengucapkan salam padaku
dan mengatupkan kedua tangannya juga padaku. ”Assalamu’alaikum” Ucapnya
lembut sambil menunduk. ”Wa..wa’alaikummussalam” Sahutku dengan sedikit
tergagap. Aku segera menundukkan pandanganku dari wajahnya dan kutarik
nafasku secara perlahan. Entah mengapa saat ini jantungku
berdebar-debar. Kudengar Bu Rahayu memperkenalkan laki-laki itu sebagai
anaknya yang bernama Yusuf Abdul Fattah dan dia juga memperkenalkan Mama
sebagai sahabat lamanya dan juga memperkenalkan aku pada Yusuf. Sesaat
aku mencuri pandang padanya. Astaghfirullah! Ucapku dalam hati. Kembali
kutarik nafasku dalam-dalam. Tak berapa lama, laki-laki yang kukenal
bernama Yusuf itu meminta diri untuk keluar dari kamar. Aku tak berani
lagi menatap wajahnya. Takut dosa. Aku hanya dapat mendengar suaranya
yang dengan lembut mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya dengan
pelan. Tak berapa lama, Mama dan Bu Rahayu mengganti topik pembicaraan
mereka dengan masalah Yusuf. Aku berusaha mengendalikan perasaanku.
Entah mengapa, seperti ada yang berbeda dalam hatiku setelah aku melihat
Yusuf tadi. Aku jadi teringat perkataan Mama. ”Bu Rahayu itu punya
seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu
cocoklah untuk dijadikan seorang menantu”. Apa mungkin bisa ya? Pikirku
sudah mulai ngaco kemana-mana. Sepanjang perjalanan pulang aku tak bisa
memfokuskan fikiranku. Sesampainya dirumah aku sudah tak memikirkan
editan tulisanku di komputer. Yang menjadi pikiranku sekarang adalah,
apakah sosok ”malaikat” itu yang menjadi harapan Mama? Oh….Rabbi,
selamatkan aku dari penyakit hati ini. Teriakku dalam hati. Adzan
Maghrib sudah berkumandang. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk
mengambil air wudhu.
* * *
Dua Hari berganti hari, aku sudah tak lagi
memikirkan sosok ”malaikat” itu. Dan aku berusaha untuk tidak
memikirkannya. Kemarin sore aku mendapat sebuah undangan dari sahabatku,
Arini, teman satu kantor. Hari ini dia akan menikah. Aku tertawa
sendiri melihat namanya yang manis bertengger didalam undangan
pernikahannya yang berwarna kuning keemasan, bersebelahan dengan nama
seorang ikhwan1 yang sangat aku kenal, Fauzi. Yang
jelas-jelas aku ingat dulu Arini sempat tidak suka pada ikhwan yang
mempunyai potongan rambut belah tengah itu dan berkaca mata. Menurut
Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada Fauzi- Fauzi itu sosok
seorang ikhwan yang paling aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang
biasa-biasa saja dengan aksesoris kaca matanya yang tak pernah ia
tinggalkan, membuat Arini ilfill terhadapnya. Apalagi gaya
bicaranya yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan
argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku hanya tersenyum
mendengarnya tanpa bisa memberikan komentar apa-apa soal Fauzi karena
ternyata, diam-diam Fauzi menyimpan perasaan pada Arini. Aku tahu hal
itu dari Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi pernah mengirimkan email
padaku yang meminta tolong agar aku mau mengatakan pada Arini kalau dia
suka padanya dan hendak melamarnya. Aku sempat terkejut membaca pesan
itu. Jarak antara ruanganku dengan ruangan Fauzi tidak jauh. Kami memang
satu kantor tapi kami tak pernah bertemu lama walaupun hanya sekedar
berbincang-bincang. Setelah membaca ulang emailnya, aku segera menulis
balasan email untuknya.
“Wa’alaikumussalam. Wr. Wb Fauzi, apa yang bisa aku lakukan untuk
membantumu? Kalau peranku hanya sekedar menyampaikan pesanmu pada Arini,
mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan2, lebih
baik kamu hubungi saja murabbi3nya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan
alamat dan nomor teleponnya padamu. Kebetulan aku mengenalnya.
Bagaimana? Afwan ya“.
Segera kukirim email itu padanya dan kuketik sms untuknya yang
mengatakan bahwa aku sudah memberikan balasan emailnya. Aku melanjutkan
tugasku kembali. Mengedit beberapa tulisan yang sudah masuk kedalam
redaksi kami. Kantor tempat aku bekerja adalah perusahaan majalah Islam
yang cukup terkenal di Jakarta. Tak berapa lama ponselku berdering.
Kulihat. Satu pesan diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :
“Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini. Smg ini bs membntuku. Krm via email ya Mbak? Syukran4”.
Aku tak membalas smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama
Mbak Nurma, murabbi Arini. Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung
mengetik nama,
alamat, dan nomor telepon Mbak Nurma dan segera kukirim via email,
sesuai dengan permintaan Fauzi. Setelah aku megirimnya, aku kembali
mengetik sms untuknya.
“Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh y? Smg sukses. Afwan”.
Aku kembali larut dalam kerjaanku yang sedari tadi tertunda oleh
urusan Fauzi. Tak berapa lama kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak
mengindahkannya. Aku yakin itu dari Fauzi yang ingin mengucapkan terima
kasih padaku. Kerjaanku sedang banyak-banyaknya dan sebentar lagi
tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan kepercetakan.
* * *
Aku tersenyum sendiri melihat undangan manis yang kini masih
tergeletak di atas meja riasku. Peranku dalam usaha Fauzi menemukan
jodohnya hanya sampai disitu. Aku sungguh tak menyangka kalau Fauzi
memang benar-benar menginginkan Arini menjadi istrinya. Satu hal yang
aku ingat saat aku berbincang-bincang dengan Arini dulu. ”Rin, membenci
seseorang itu boleh saja. Tapi harus sewajarnya. Tidak boleh kita
membenci orang lain tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin!
Janganlah kamu membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena
bisa saja suatu hari kamu jadi menyukainya. Begitu juga sebaliknya. Jika
kamu menyukai orang lain ya sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari
kamu akan berbalik membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan
penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat kamu malah
justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada haditsnya lho Rin” Sikap
Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan hal yang baru
saja aku katakan. Dan sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini dia
akan menikah dengan seorang ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya.
Hah…jodoh memang sulit ditebak. Yang setiap hari bertengkar, ternyata
dikemudian hari malah menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin
hubungan, malah putus ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau
jodoh itu memang rahasia Allah. Dan bisa saja jodoh yang tengah
disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang tidak pernah aku duga
sebelumnya. Diluar, Mama mengetuk pintu kamarku dan minta izin untuk
masuk. Akupun mengizinkan. Dia berdecak kagum ketika melihat aku
berdandan sangat beda hari ini. ”Wah…wah!! Mau kemana sih kamu Din?
Pagi-pagi begini sudah rapi sekali? Ada acara apa?” Tanya Mama sambil
matanya terus memandangiku dari atas kebawah. ”Tuh, lihat saja Ma!”
Jawabku sambil menunjuk sebuah undangan berwarna kuning keemasan diatas
meja riasku. Tanganku sibuk mengaitkan peniti di jilbabku. Mama
mengambil undangan itu dan membacanya. ”Undangan pernikahan, Arini
Musdalifah dengan Fauzi Nur Alamsyah” Ucap Mama mengeja huruf-huruf yang
terangkai dengan indah di undangan tersebut. ”Oh…ini Arini yang pernah
main kesini ya Din? Yang pernah konsultasi sama kamu masalah
lamaran….siapa itu?” ”Fauzi Ma!” Sahutku. ”Iya Fauzi. Lha kok jadi nikah
begini? Katanya nggak suka, kok jadi nikah?” Tanya Mama penasaran.
”Ma, jodoh itu rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan siapa nantinya
kita akan menikah. Kalau Arini tadinya nggak suka sama Fauzi, tapi kalau
memang Allah sudah menggarisakan jodohnya mereka ya mau diapakan lagi?”
Jawabku meyakinkan Mama. Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil
terus membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan sesuatu padaku
yang membuat hatiku bertanya-tanya. ”Oh iya Din, nanti malam keluarganya
Bu Rahayu akan datang kesini” ”Keluarganya Bu Rahayu?” Tanyaku dengan
menatap wajah Mama dengan serius. ”Iya. Bu Rahayu yang tempo hari pernah
kita jenguk. Kamu ingat kan?” Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku
lupa. Dari kunjungan itu aku melihat sesosok manusia alim bernama Yusuf
Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku pada Mama barusan adalah
untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan membawa serta keluaganya? Aku
mencoba bertanya pada Mama. ”Untuk apa mereka kemari Ma?” ”Ya sekedar
silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak bertemu. Sekalian ada yang mau
kami bicarakan” Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda tanya besar
untukku. Membicarakan apa? ”Siapa saja yang nanti datang bersama Bu
Rahayu?” Tanyaku makin penasaran. ”Nggak banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya,
dan anaknya yang kemarin” Jawab Mama tenang, tapi tidak bagiku.
Tiba-tiba saja hatiku berdebar hebat ketika Mama menyebutkan ”anaknya
yang kemarin”. ”Nanti jangan pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu
Rahayu dengan keluarganya” Ucap Mama sambil beranjak pergi dari
hadapanku. Aku masih terpaku dengan ucapan Mama. Dia ikut? Sosok
”malaikat” itu nanti malam akan datang? Oh Rabbi, kenapa aku ini? Kenapa
aku jadi gelisah seperti ini? Aku segera membereskan barang-barangku
dan langsung bergegas pergi menuju pesta walimatul ursy-nya Arini dan
Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah bingkisan untuk mereka. Sejenak aku
lupakan dulu rasa tidak tenangku.
* * *
Sepulang dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di ajak oleh
Shanti, teman satu halaqah5ku ke Istora Senayan karena disana sedang ada
acara pameran buku Islami atau Islamic Book Fair. Hari ini terakhir
diadakan. Kupikir tidak ada salahnya menghabiskan waktu disana sambil
membeli beberapa buku untuk referensi novel terbaruku. Selepas Ashar aku
langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan dan akhwat6 yang
berjubel ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena
sesaknya orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari pusat informasi
disana, hari ini ada temu penulis novel bestseller ”Ayat Ayat Cinta”,
Habiburrahman El Shirazy, jadi pantas saja kalau banyak orang yang
berbondong-bondong datang untuk melihat Kang Abik secara langsung.
Aku yang mendengar hal itupun segera mencari tempat lokasi temu penulis ”Ayat Ayat Cinta”.
Secara, aku juga sangat mengidolakan Kang Abik sebagai penulis
inspirasiku dalam menulis novel. Beberapa buah buku referensi telah aku
dapatkan. Kebanyakan dari buku yang aku beli adalah novel dan beberapa
buku penunjang untuk bahan penulisan novelku. Lain lagi dengan Shanti.
Dia lebih tertarik dengan buku-buku yang membahas tentang perjalanan
hidup Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah
seorang guru agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman
Qur’aniyah di daerah Poltangan, Jakarta Selatan. Di saat langkahku
tengah mendekati ruang Anggrek, tempat dimana acara temu penulis ”Ayat
Ayat Cinta” digelar, aku melihat sosok ”malaikat” yang pernah kulihat
dirumah Bu Rahayu. Dialah Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit Cakrawala
sambil membuka lembar demi lembar buku yang dipegangnya. Disebelahnya
berdiri seorang ikhwan yang tengah mengajaknya berbicara. Entah ada
angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik tanganku dan membawaku ke stand
Penerbit Cakrawala. Dia bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr.
’Aidh bin Abdullah alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup.
Aku terkejut dibuatnya. Yusuf belum beranjak dari tempatnya berdiri.
Sedangkan aku berdiri persis membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku
ada dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa saja dia
tidak mengenaliku atau lupa padaku. Shanti masih saja mencari buku yang
dia maksudkan. Sedangkan aku pura-pura melihat-lihat buku yang sekarang
ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan dia berbicara dengan
temannya. ”Suf, ente bener hari ini nggak mau ikut ane kerumah Sandi?
Ente nanti nyesel lho!” Ucap temannya Yusuf dengan semangat. ”Bener
akhi7, ana nggak bisa ikut nih. Hari ini ana mau pergi sama orang tua
kerumah teman mereka” Jawab Yusuf dengan nada penuh penyesalan. ”Ente
jadi ikut sama orang tua ente? Kirain cuma main-main. Jadi dong nyebar
undangan?” Tanya temannya yang tiba-tiba saja membuat hatiku
bertanya-tanya. Undangan?! ”Ah, antum jangan begitu dong. Ana lagi
pusing nih memikirkan permintaan orang tua” Sahut Yusuf. ”Lagi sih ente.
Ane bilang buru-buru lamar si Alifa, eh ente bilang nanti-nanti dulu.
Ya terima deh nasib dijo…” ”Sstt!!” Tiba-tiba Yusuf memotong pembicaraan
temannya itu. ”Udah yuk ah, ana mau langsung pulang nih. Nanti Ibu
marah, terus jatuh sakit lagi” Lanjutnya menutup perbincangan dia dan
temannya. Aku semakin bertanya-tanya. Ada masalah apa sebenarnya dengan
Yusuf? Apa yang diminta orang tuanya padanya? Shanti menyadarkanku dari
pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya. Dia sudah
mendapatkan buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku menuju
ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat. Dari Mama. ”Ya
Ma?” Sapaku langsung pada Mama.
”Din, kamu dimana sekarang? Cepat pulang. Sebentar lagi keluarganya
Bu Rahayu akan segera datang” Ucap Mama dengan nada sedikit kesal. ”Iya
Ma. Sebentar lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu sajalah dirumah. Paling
Bu Rahayu juga akan telat datangnya” Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku
tahu, Yusuf saja masih ada di Senayan. ”Sok tahu kamu. Dari dulu itu Bu
Rahayu orangnya selalu tepat waktu. Sudahlah jangan membantah. Pokoknya
sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah” Ucap Mama sambil
menutup teleponnya. Sepertinya Mama agak marah padaku. Mau diapakan
lagi. Dengan berat hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora
Senayan dan itu artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara
langsung. Tapi satu yang masih aku pikirkan. Apa kira-kira yang diminta
oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?
* * *
Tiga Sampai dirumah tepat ketika azan Maghrib
berkumandang. Mama menyuruhku untuk segera mandi dan langsung menunaikan
shalat Maghrib. Kuturuti apa kata Mama. Papa yang hendak pergi ke
masjid tak pernah sedikitpun berkomentar tentang kerepotan Mama
menyuruhku ini dan itu. Selepas mandi dan shalat Maghrib, Mama lagi-lagi
menyuruhku dengan suatu hal yang menurutku aneh. ”Din, coba kamu pakai
ghamis kamu yang warna biru tua ini. Sepertinya bagus deh!” Pintanya
sambil mengambil sebuah ghamis yang dimaksudkan dari dalam lemariku.
”Untuk apa sih Ma? Ini kan hanya acara silaturahim saja kan? Nggak
usahlah pakai baju yang berlebihan. Kayak mau pergi saja” Tolakku tanpa
mau mengindahkan permintaan Mama. Kuperhatikan ghamis biru tua itu yang
menurutku lebih cocok dipakai keacara walimahan. ”Eh, malam ini kamu
harus tampil cantik. Pokoknya harus spesial. Awas kalau tidak. Mama akan
marah sama kamu. Dipakai ya?” Pinta Mama sekali lagi. Aku hanya Bisa
termenung sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan Mama barusan.
Apa sih yang sebenarnya diinginkan Mama dariku? Sehingga aku harus
mengenakan ghamis itu. Kuturuti saja permintaan Mama. Aku masih tidak
mengerti ada apa dibalik semua kedatangan keluarga Bu Rahayu malam ini.
Pukul tujuh malam kurang lima belas menit keluarga Bu Rahayu datang. Aku
heran, apa mereka sudah shalat Maghrib? Mama dan Papa menyambut
kedatangan mereka dengan hangat. Aku tidak ikut menyambut mereka karena
aku sedang sibuk membuatkan minum dibelakang. Hatiku tiba-tiba saja
berdesir tatkala Mama menyebut nama Yusuf . Ya, dia datang malam ini.
Jantungku yang seolah tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya.
Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang tamu, Mama
memanggil namaku. ”Dinda!! Kesini sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu
Rahayu!” Teriak Mama. ”Iya sebentar Ma!” Sahutku sembari mengelapkan
tanganku pada sebuah kain. Aku bergegas melangkah menemui mereka diruang
tamu. Sekali lagi kutarik nafasku dalam-dalam lalu kuhembuskan.
Wajah yang pertama kali kulihat adalah wajah Bu Rahayu, kemudian
laki-laki bertubuh besar dengan kumis diwajahnya. Mungkin dia suaminya.
Aku tak berani mengalihkan pandanganku pada Yusuf. Kuraih tangan Bu
Rahayu lalu kucium. Dan kukatupkan kedua tanganku pada suaminya
dan….Yusuf pastinya. Bu Rahayu memuji penampilanku. ”Wah!! Malam ini
Dinda cantik sekali. Cocoklah” Ucap Bu Rahayu padaku. Ucapan itu membuat
sebuah tanda tanya besar dihatiku. Cocok?! ”Ah, Bu Rahayu bisa saja.
Terima kasih atas pujiannya” Sahutku sambil meminta diri. Aku ingat aku
sedang membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tiba-tiba saja
kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!! Bergetar rasanya hati
ini. Kutarik nafasku dan kuhembuskan ketika sudah sampai didalam. Di
belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue di atas piring
yang tadi siang Mama beli di pasar. Samar-samar kudengar perbincangan
Mama, Papa, dan keluarga Bu Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan
masa lalu. Sambil membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples
kue-kue kering, aku melangkah keruang tamu. Wajahku masih menunduk. Tak
berani aku mengangkat kepalaku. Bu Rahayu dan suaminya yang kuketahui
bernama Pak Sardi mengucapkan terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia
hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan suaminya. Aku
berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan
terima kasih padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku
kembali kebelakang dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti,
perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki jiwaku. Aku kembali
kebelakang dan kuambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah kutata.
Kusuguhkan pada mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama
menyuruhku untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya.
Kudengarkan dengan jelas perbincangan mereka dari ruang tengah. Sambil
memainkan sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara. ”Ya, tujuan
kami datang kesini ini kan, selain untuk menyambung silaturrahim juga
untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak
kita yang sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?” ”Ya ya, betul betul”
Sahut Papa. ”Saya yakin Bapak sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan kami
datang kesini” Lanjut Pak Sardi. ”Saya hendak melamar putri kalian untuk
anak kami, Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?” ”Prang!!” Sendok yang tadi aku
mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku terkejut mendengar
perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa kelu
dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku.
Perlahan aku mendengar jawaban Papa. ”Ya, kami sangat senang atas
keinginan Bapak dan Ibu untuk menjadikan anak kami sebagai menantu.
Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan Bapak dan Ibu.
Dengan senang hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini menjadi
langkah awal untuk kebaikan kita bersama” ”Amin!” Jawab semuanya
serentak.
Dalam hati aku bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak menanyakan hal itu
padaku dulu? Kenapa Papa menerima pinangan itu secara sepihak tanpa mau
berkompromi dulu denganku? Tapi, biarpun Papa tidak menanyai hal itu
kepadaku dulu juga, sebenarnya aku mau menerimanya. Oh, senangnya
hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku. Jodoh memang benar-benar rahasia
Allah. Aku tidak menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru saja
kukenal. Tapi, bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf? Aku kan belum begitu
mengenalnya. Ah! Setelah menikah nanti, kami akan sama-sama belajar
sifat kami masing-masing. Oh Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku
mendengar Mama memnggil namaku. ”Dinda! Kesini sebentar Nak!” Aduh!
Bagaimana ini? Aku panas dingin. Kakiku gemetar dan sulit untuk diajak
berjalan. Tapi mau tidak mau aku harus memenuhi panggilan Mama. ”Iya Ma,
sebentar” Sahutku sambil menata diri agar tidak tampak gugup. Aku
menunduk. Kuberanikan diriku menatap wajah Yusuf, yang kini telah
menjadi calon suamiku. Dia masih menunduk. Aku beristighfar dan duduk
disamping Mama. ”Kamu sudah mendengar kan, Apa yang barusan kami
perbincangakan?” Tanya Mama sambil mengusap-usap bahuku. Aku mengangguk
pelan. ”Lalu bagaimana dengan kamunya? Menerima tidak?” Tanya Mama yang
sebenarnya ingin langsung kujawab ”Mau..mau!!” Tapi aku malu. Aku lebih
memilih untuk diam sejenak sambil menatap satu per satu wajah yang ada
diruang tamu, terutama Yusuf. Lalu aku bersuara. ”Dengan segala
kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku miliki,
maka dengan menyebut nama Allah….” Kutarik nafasku perlahan. ”Aku
menerimanya” Lanjutku. Lega rasanya hati ini. Semua yang ada diruang
tamu tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf. Aku menatapnya dengan penuh tanya.
Ada apa dengannya? Dia hanya menunduk. Sesekali bibirnya tersenyum
ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa. Tapi sepertinya, senyumnya
berbeda. Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan senyum
kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa gugupnya,
sama seperti aku. Setiap orang kan pasti berbeda-beda dalam
menyembunyikan rasa gugupnya. Aku tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti
mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku hanya ingin
melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku. Papa, Mama, Pak
Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses pernikahan. Aku
sangat bahagia malam ini.
* * *
Empat Semuanya sudah ditentukan. Prosesi pernikahan
jatuh pada tanggal 23 April 2007. Akad dan walimatul ursy-nya akan
diadakan bersamaan di Masjid Raya At Taqwa Pasar Minggu. Baju pengantin
yang nantinya akan aku dan Yusuf kenakan pun sudah ditentukan. Dan
mahar, aku minta agar Yusuf cukup memberikan aku seperangkat alat
shalat, satu buah Al-Qur’an, sebuah cincin emas, dan hafalan surat Al
Ikhlas. Setelah semua selesai dan beres dengan rapi, Yusuf dan
keluarganya pamit pulang. Aku pun ikut mengantarkan mereka sampai depan
pintu. Aku masih belum menemukan senyum yang berarti dari Yusuf. Sampai
pulang pun dia tak sedikitpun menatapku. Aku mulai berpikir yang
macam-macam. Setelah mereka pulang, aku langsung membereskan
cangkir-cangkir dan piring-piring yang kotor diatas meja. Tiba-tiba Mama
memberikan sebuah amplop putih padaku. ”Apa ini Ma?” Tanyaku heran.
”Surat dari calon suamimu” Jawab Mama membuat hatiku berbunga-bunga. Aku
tertawa sendiri menerima surat itu. Mataku mulai berair. Segera saja
kupeluk erat tubuh Mama. ”Makasih ya Ma? Akhirnya aku menemukan jodohku”
Ucapku sedikit serak. ”Iya. Mama doakan supaya kamu selalu bahagia”
Sahut Mama sambil membelai kepalaku yang masih tertutup jilbab. Aku
beranjak kekamarku untuk menaruh surat dari Yusuf di atas meja belajar.
Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat membukanya. Tapi aku harus mencuci
dulu semua piring-piring kotor didapur. Setelah selesai, aku langsung
bergegas melangkah kekamar. Amplop putih itu kini seperti harta yang
paling berharga untukku. Tak rela rasanya bila harus kehilangan
kata-kata dalam surat yang ditulis Yusuf untukku. Sekarang aku yakin,
Yusuf bersikap seperti itu tadi karena dia merasa gugup. Buktinya
sekarang aku menerima surat darinya. Lebih tepatnya lagi, surat cinta
dari kekasihku. Oh…aku jadi romantis begini. Sejak bertatap muka
dengannya, hatiku ini memang sepenuhnya dipenuhi rasa cinta padanya.
Kubuka perlahan surat itu. Isinya:
“Assalamu’alaikum. Wr. Wb Kepada yang terhormat Dinda Altharina
Puteri Di tempat Aku sengaja menulis surat ini dengan tulisan tanganku
sendiri. Berharap kau bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Aku
tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan ketika orang tuaku memaksaku
untuk menikah denganmu. Asal kau tahu saja, pinangan atas dirimu
sebenarnya bukan aku yang menginginkan, melainkan orang tuaku. Mereka
bilang, sejak pertama kali melihatmu, hati mereka langsung tergerak
untuk menjadikanmu sebagai menantu. Lagi pula orang tuaku dan orang
tuamu berteman sejak lama. Tapi maaf, itu semua diluar kemauanku. Dan
maaf sekali lagi, aku tidak pernah berniat menikahimu. Semua ini adalah
rencana orang tuaku dan orang tuamu untuk menjodohkan kita. Aku tahu hal
ini adalah hal bodoh yang pernah aku lakukan sepanjang hidupku. Aku
juga tahu bahwa jika semua ini benar-benar terjadi, maka akan banyak
orang yang aku bohongi. Terlebih lagi, aku akan menjadi seorang
pecundang dan pengecut karena telah menyakiti perasaanmu. Tapi aku juga
tidak bisa berbuat lebih banyak lagi sebab melihat kondisi ibuku yang
sudah sangat lemah, aku takut bila aku menolak permintaanya, sakitnya
akan semakin parah. Asal kau tahu saja, dua hari yang lalu ibuku masuk
rumah sakit karena aku menolak permintaannya.
Jadi aku mohon, bantulah aku memainkan sandiwara ini didepan orang
tua kita masing-masing. Aku tahu segala sesuatunya itu akan
dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Azza wa Jalla, tapi aku tak bisa
berbuat banyak lagi untuk hal ini. Aku merasa, belajarku selama beberapa
tahun tentang Islam sia-sia saja karena akhirnya aku harus membohongi
banyak orang atas kepura-puraanku mencintaimu. Maaf sekali lagi.
Pernikahan bukanlah suatu hal yang main-main untuk dijalankan. Terlebih
lagi bila tidak dilandasi dengan rasa cinta. Sesungguhnya, ada ’nama’
lain yang mengisi relung hatiku. Dan sepertinya, mulai saat ini aku
harus menghapus ’nama’ itu dan berusaha menggantinya dengan ’namamu’.
Jika memang tak ada cara lain lagi untuk kita mencegah kebohongan ini,
maka sebagai langkah awalku dalam menjalankan kehidupan baruku nanti,
aku ceritakan semuanya ini padamu. Jujur. Tidak ada yang ditambahkan
atau dikurangkan. Aku tidak mau mengawali semua ini dengan kebohonganku
pada dirimu. Maafkanlah aku yang tak mencintaimu. Mungkin ketika membaca
surat ini, matamu sudah dipenuhi dengan air mata. Aku akan berusaha
mengganti air matamu itu dengan usahaku untuk dapat mencintaimu. Maaf,
beribu-ribu maaf aku minta kepadamu. Tolonglah malam ini kau shalat
tahajud dan minta kepada Allah agar memberikan yang terbaik untuk kita.
Aku tak sanggup, bila selamanya harus menyakitimu. dengan kepalsuan
cintaku. Dan tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Aku yakin
kau mengerti seperti apa posisiku. Sekian dulu surat dariku. Bila semua
ini kurang berkenan dihatimu, mohon dibukakan pintu maafmu untukku.
Afwan Wassalamu’alaikum. Wr. Wb Dari Seorang Pengecut Yusuf Abdul
Fattah”
Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku membaca surat itu. Air mata
sudah tak dapat lagi kubendung. Aku merasa hatiku hancur
berkeping-keping. Aku merasa dunia ini menjadi gelap di penglihatanku.
Orang yang aku cintai ternyata tidak pernah mengharapkanku. Dan sikapnya
yang tadi kulihat janggal, ternyata benar adanya. Tiba-tiba aku merasa
bahwa Yusuf adalah manusia terjahat yang pernah aku temukan selama
hidupku. Tapi spekulasi itu tetap tidak bisa mengalahkan perasaanku yang
sejak awal sudah dipenuhi rasa cinta padanya. Sekarang aku mengerti apa
yang diminta oleh Bu Rahayu padanya. Dan sekarang aku lebih mengerti
apa yang dibicaraknnya pada temannya di book fair tadi. Yang dimaksudkan
menyebar undangan adalah undangan pernikahanku dengan Yusuf. Dan ’nama’
lain yang dimaksudkannya adalah nama … Alifa. Nama seorang akhwat yang
tadi disebut-sebut oleh temannya Yusuf. Oh Alifa, mengapa tiba-tiba aku
jadi merasa cemburu padamu? Sebenarnya seperti apa sosok dirimu sehingga
membuat Yusuf jatuh hati padamu? Aku merasakan air mata kembali menetes
membasahi kedua pipiku. Sebuah berita menggembirakan yang baru saja aku
dengar beberapa saat lalu, tiba-tiba saja berubah bagai kilat yang
menyambar yang menghantam tubuhku dan membuatnya hancur
berkeping-keping. Kalau saja aku tahu hal ini dari awal, aku tidak akan
pernah mau menerima lamarannya. Tapi, aku juga tidak mau melihat Bu
Rahayu jadi jatuh sakit. Oh Ya Rabbi, tolonglah hambaMu ini. Aku bangkit
dari dudukku. Aku berusaha mengumpulkan kembali sisa-sisa kepingan
hatiku yang tadi hancur berserakan. Kulirikkan mataku ke jam dinding.
Sudah cukup malam dan aku teringat, aku belum shalat Isya. Sekuat tenaga
aku berdiri dan melangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air
wudhu. Mataku memerah tapi kutahan untuk menangis dihadapan Mama dan
Papa. Mereka tidak boleh tahu akan hal ini. Malam ini akan kuadukan
semuanya pada Dzat Yang Maha Memberikan rasa, agar Yusuf dapat menemukan
arti dari sebuah makna cinta sejati.
* * *
Hari ini hari Minggu. Pagi ini aku kelihatan lesu dan tidak berdaya.
Seusai shalat subuh, tilawah qur’an beberapa halaman, dan wirid
ma’tsurat aku langsung bergegas mandi dan membereskan rumah. Hari ini
aku ingat ada jadwal liqa8 pukul sepuluh nanti. Seusai membereskan
rumah, aku langsung membuat sarapan seperti biasanya. Makan satu meja
bersama Mama dan Papa. Di tengah menyantap nasi goreng yang kubuat,
tiba-tiba Papa menegurku. ”Din, kamu kenapa? Sepertinya lesu sekali pagi
ini?” Tanya Papa mengejutkanku dari lamunan. Kupandangi wajah Papa
dengan tatapan hampa. ”Iya nih Din. Mama perhatikan dari tadi kok kamu
diam saja. Seharusnya kamu senang dong, kan semalam baru dilamar oleh
Yusuf. Dapat surat lagi darinya” Imbuh Mama melanjutkan. Tiba-tiba aku
teringat akan surat dari Yusuf yang isinya sangat menghancurkan hatiku.
Aku termenung sendiri sambil menatap segelas susu putih kepunyaanku.
Andaikan saja hatiku ini bisa seputih susu itu. ”Din! Ada apa sih kamu?”
Tegur Mama padaku. Aku kembali tersadar dari lamunanku. ”Ehm….Pa, Ma,
ada yang mau aku bicarakan” Ucapku tanpa pikir panjang lagi. Hatiku
semakin galau. ”Mau membicarakan apa?” Tanya Papa. Kutarik nafasku
dalam-dalam. ”Setelah semalaman aku berpikir ulang kembali, aku
memutuskan untuk…. menolak lamaran Yusuf” ”Apa?!” Teriak Papa dan Mama
berbarengan. ”Iya Pa, Ma, aku memutuskan untuk tidak menikah dengan
Yusuf” Kataku lagi mempertegas perkataanku sebelumnya.
”Kamu sudah ngaco apa? Hari pernikahan dan segala persiapannya itu
sudah ditentukan, Dinda. Lagi pula, kenapa tiba-tiba kamu menolaknya?
Bukankah semalam kamu kelihatan bergembira sekali menerima lamaran
Yusuf? Bahkan Yusuf sampai menuliskan surat cinta untukmu. Lalu apa yang
menyebabkanmu sampai berubah pikiran?” Tanya Mama dengan penuh
ketegasan. Andai saja Mama dan Papa tahu apa isi surat itu, pasti
kalianpun akan melakukan hal yang sama sepertiku. Bahkan aku yakin, Papa
dan Mama tidak akan rela melepaskan aku pada seseorang yang tidak
mencintaiku. Tapi aku tidak akan memberitahukan semua ini pada kalian.
Cukup aku saja yang menderita. ”Dinda?” Tegur Mama. ”Ya Ma? Ehm….”
Sesungguhnya aku tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan Mama. Ya Allah,
jawaban apa yang harus aku berikan pada Mama dan Papa? ”Ehm…A, aku
merasa kurang pantas saja Ma bersanding dengan Yusuf. Aku merasa, lebih
baik dia bersanding dengan wanita lain saja dari pada dengan aku”
Jawabku sekenanya. ”Tapi Din, dia itu jelas-jelas sudah memilihmu untuk
menjadi pendampingnya. Jadi untuk apa lagi kau menolaknya?” Tanya Papa
penuh ketegasan. Aku diam seribu bahasa. Dalam hati aku menjawab
pertanyaannya. ”Yang sebenarnya memilihku bukanlah Yusuf Pa, tapi orang
tuanya. Orang tuanya yang menginginkan aku jadi menantunya, bukan Yusuf”
Aku hanya bisa menunduk dan pasrah dalam ketidak berdayaanku. Sejurus
do’a kupanjatkan pada Yang Kuasa agar semuanya bisa berjalan dengan
baik. Mama kembali bersuara. ”Din, usiamu sudah menginjak 27 tahun. Mau
cari yang seperti apa lagi kalau yang seperti Yusuf saja kamu tolak?”
Ucap Mama berusaha meyakinkanku. Aku rasa pertanyaan Mama tak perlu
kujawab. Aku hanya menjawabnya dalam hati. ”Aku hanya ingin mencari
suami yang sholeh dan dapat mencintaiku apa adanya, Ma” Ucapku dalam
hati. Aku beranjak pergi dari hadapan Mama dan Papa. Mereka hanya bisa
memandangiku berjalan kekamar. Di kamar, kubuka buku harianku dan
kutuliskan semua kegundahanku dalam buku itu dengan air mata berlinang.
Tanpa kusadari air mataku itu jatuh membasahi tulisanku. Aku tak sanggup
lagi dengan keadaan ini. Tapi aku kembali ingat, bahwa Allah tidak akan
pernah memberikan suatu cobaan kepada hambaNya diluar batas kemampuan
hambaNya. Dan sampai sekarang aku selalu ingat salah satu ayat itu yang
terdapat di Surat Al Baqarah. Kalau memang Allah sudah mempercayakan
cobaan itu padaku, maka aku yakin akupun bisa mengatasinya. Allah tidak
pernah salah dalam bertindak. Mana mungkin Allah salah? Mungkin ini
adalah sebuah cobaan atas diriku untuk mencapai tingkat derajat taqwa
yang lebih tinggi. Jika aku sabar menghadapinya, itu berarti aku lulus.
Tapi kalau tidak, maka aku belum bisa mencapai derajat taqwa yang lebih
tinggi itu. Aku yakin, setiap manusia itu mempunyai kadar kesanggupannya
masing-masing. Dan yang tahu kadar itu hanyalah Allah swt. Bahkan
manusia pun belum tentu mengetahui kadar itu, karena manusia hanya bisa
mengeluh dan mengeluh tanpa mau berpikir kenapa Allah memberikan cobaan
itu. Yang manusia bisa lakukan hanyalah meratapi nasib yang sudah ada
tanpa mau berusaha untuk mengubahnya. Padahal kalau diingat-ingat lagi,
Allah itu mengikuti prasangka hambaNya. Pertanyaannya bukan, Kenapa Allah memberikan cobaan ini? Tapi lebih tepatnya lagi, Apa hikmah dibalik cobaan yang Allah berikan? Dan
tugas seorang manusia itu ialah mencari hikmah yang terkandung dari
semua cobaan yang telah Allah berikan. Itulah sikap manusia sejati. Dan
aku? Aku akan berusaha untuk menjadi manusia sejati itu. Aku tidak boleh
kalah oleh keadaan. Biar bagaimana pun, hidup ini masih dan harus terus
berjalan. Aku yakin, akan ada hikmah dibalik semua cobaan ini. Ya, saat
ini, bagiku, mencintai calon suamiku adalah cobaan untukku. Dan
pastinya, akan ada suatu kebaikan yang terkandung jika aku bersabar
dalam mencintainya. Dan janji Allah itu pasti, Innallaha Ma ’ashshobirin. Allah
itu selalu bersama orang-orang yang sabar. Sabar dalam beribadah, sabar
dalam melakukan perbuatan, sabar dalam mengarungi kehidupan, dan sabar
bila kita mencintai seseorang yang tidak mencintai kita. Sabar, sabar,
dan sabar. Itulah yang sekarang sedang berusaha aku lakukan. Aku akan
selalu bersabar, menanti pintu hatinya terbuka untuk dapat menerima
cintaku. Pukul sembilan kurang sepulih menit. Aku harus bersiap-siap
pergi liqa ketempat Mbak Rianti, murabbiku. Hari ini aku ada
jadwal kultum. Aku tak mau terus menerus memikirkan masalahku dengan
Yusuf sementara masalahku yang lain masih menunggu uluran tangan untuk
aku selesaikan. Aku jadi mempunyai tema kultum yang baru untuk aku
sampaikan kepada teman-teman. Tema itu adalah tentang kesabaran. Apa itu
sabar, kenapa kita harus sabar, dan apa gunanya kita bersabar, semuanya
akan aku bahas di forum halaqah nanti. Sekalian aku akan meyampaikan
kabar gembira sekaligus menyedihkan untukku. Gembira karena sebentar
lagi aku akan menikah. Dan menyedihkan karena laki-laki yang menikahiku
sesungguhnya tidak mencintaiku. Tapi kabar menyedihkan itu tak akan aku
sampaikan nanti. Cukup hanya aku, Yusuf, dan Allah saja yang tahu.
Rabbi, kuatkanlah diriku. Izinkanlah aku meraih derajat taqwaMu, Ya
Allah……
* * *
Lima Hari pernikahan itu tiba. Aku dan Yusuf
didandani ala pengantin Jawa karena keluargaku dan keluarganya berasal
dari Jawa. Lebih tepatnya lagi, aku dari Jawa Timur dan Yusuf dari Jawa
Tengah. Aku mengenakan pakaian khas Jawa tapi tetap terbalut oleh jilbab
syar’i. Para undangan banyak sekali yang hadir. Tak terkecuali
orang-orang dari pihak penerbit yang selama ini berjasa dalam
menerbitkan dua novelku. Diantara para undangan yang hadir, ada yang
mengaku kalau mereka adalah penggemar setia novelku. Aku tak tahu dari
mana mereka tahu acara pernikahanku ini. Tapi yang pasti aku sangat
senang karena mereka sangat peduli padaku. Aku hanya bisa mendo’akan
mereka supaya mereka bisa menemukan jodoh mereka dengan cinta. Aku duduk
bersanding dengan Yusuf. Kulihat wajah Yusuf tak seperti orang yang
sudah menikah pada umumnya. Wajahnya terlihat murung dan tak
bersemangat. Dan yang mengetahui penyebab kemurungannya itu hanya aku
pastinya. Sesekali dia melebarkan senyumnya pada orang yang
memberikannya selamat. Senyum keterpaksaan tentunya. Disela-sela waktuku
menerima ucapan selamat dari para tamu, aku melihat sosok seorang
akhwat berjilbab lebar datang menghampiriku dan Yusuf bersama dengan dua
orang temannya. Aku dan Yusuf berdiri. Setelah mendekat, akhwat itu dan
dua orang temannya mengatupkan tangannya pada Yusuf sambil memberikan
ucapan selamat padanya. Akhwat berjilbab lebar itu begitu cantik. Dia
lalu menjabat tanganku dan memelukku dengan erat seraya berkata,
”Barakallah ya? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah”
Ucapnya pelan. Dua orang akhwat yang mengiringinya melakukan hal yang
sama terhadapku. Aku hanya tersenyum pada mereka dan mengucapkan terima
kasih. Aku tak tahu siapa mereka. Tiba-tiba Yusuf bersuara, ”Syukran ya
Alifa sudah mau datang” Ucap Yusuf pada akhwat berjilbab lebar tadi yang
kuketahui bernama Alifa. Alifa hanya mengangguk dan segera meminta
diri. Dua akhwat yang mengiringinya pun mengikutinya. Kini aku tahu
siapa Alifa yang pernah disebut-sebut oleh temannya Yusuf waktu di book
fair tempo hari. Kini aku tahu siapa Alifa yang disarankan oleh temannya
Yusuf itu untuk segera dilamarnya. Dan kini aku tahu, siapa ’nama lain’
yang ada di hatinya Yusuf, yang mulai saat ini harus ia ganti dengan
namaku. Nama itu adalah Alifa. Gadis itu adalah Alifa. Dan impiannya
yang sebenarnya juga adalah Alifa. Bukan diriku. Aku hampir saja
meneteskan air mata kalau saja Mama tidak mengajakku untuk berphoto
bersama. Dalam keramaian pesta pernikahanku, aku merasa sepi. Sepi
sekali. Mulai hari ini, aku harus menjalani kehidupanku yang baru dengan
seorang suami yang tidak pernah mencintaiku. Aku merasa sendiri saat
ini. Hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku. Sekali lagi, hanya
kesabaran yang dapat menguatkan aku.
* * *
* * *
Enam Selesai akad dan walimatul ursy, Yusuf
membawaku ke Hotel Maharani yang terletak di kawasan Mampang Prapatan.
Masih dengan busana pengantin lengkap, aku dan Yusuf memasuki kamar
malam pertama kami. Kamar yang begitu indah, megah, mewah, dan harum.
Tapi semua itu sia-sia saja kalau malam ini aku dan Yusuf hanya bisa
menatapi keindahan kamar itu dengan perasaan hampa. Aku tak tahu kenapa
Yusuf membawaku ke hotel ini. Sebelum masuk ke kamar, Mama, Papa, dan
orang tua Yusuf ikut mengantarkan kami. Setelah dirasa cukup, merekapun
pulang. Tinggal aku dan Yusuf yang kini ada di dalam kamar. Mau apa juga
bingung. Aku memutuskan untuk mengganti pakaianku dengan pakaian biasa
yang sudah disiapkan dikamar. Entah siapa yang menyiapkan. Aku mandi,
berganti pakaian, dan mengambil air wudhu. Tak lupa aku mengajak Yusuf
untuk shalat sunnah dua rakaat. Diapun menuruti. Tak lama shalat sunnah,
azan maghrib berkumandang. Segera saja Yusuf berpamitan padaku untuk
melakukan shalat Maghrib dan Isya di masjid terdekat. Aku
mengizinkannya. Tapi sebelum itu, aku memintanya untuk membacakan do’a
yang pernah Rasulullah ajarkan. Diapun mau. Perlahan dia mencium
keningku dan membacakan do’a yang pernah Rasulullah ajarkan, di atas
ubun-ubunku. Sejurus kemudian aku dapati mataku basah dengan air mata.
Aku ucapkan terima kasih padanya. Setelah itu dia melangkah keluar dan
hilang dari pandanganku. Aku langsung menunaikan kewajiban shalat
Maghribku di kamar sambil menunggu Yusuf pulang dari masjid. Aku masih
merasakan kehampaan disini.
* * *
Pukul delapan malam lebih lima belas menit Yusuf tiba kembali
dikamar. Aku yang selepas shalat Isya lalu tilawah sebentar, segera
bergegas untuk tidur. Tak ada pembicaraan yang berarti antara aku dan
Yusuf. Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambilkan segelas susu putih
untuknya. Dia menerimanya dengan ekspresi biasa-biasa saja lalu
mengucapkan terima kasih padaku. Saat ini aku masih mengenakan jilbabku.
Aku masih belum bisa tampil apa adanya di hadapannya. Aku kembali lagi
ke tempat tidur dan memiringkan tubuhku disana. Aku membelakangi Yusuf
yang tengah menikmati susu putih buatanku tadi. Kami masih terjaga oleh
diam. Sesaat lamanya kami melewati waktu dengan kondisi seperti itu.
Tiba-tiba Yusuf bersuara dan memulai pembicaraan. ”Maafkan aku ya Din?”
Ucapnya pelan. Aku masih terkejut mendengar dia bersuara. Aku tak
menjawabnya dan hanya diam sambil mendengarkan dia kembali bersuara.
”Aku memang seorang lelaki pengecut yang tidak mempunyai nyali untuk
menghadapi semua kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku harus membohongi
kedua orang tuaku, membohongi kedua orang tuamu, menyakiti hatimu, dan
terlebih lagi, aku harus menyakiti Allah karena telah melakukan hal ini.
Aku sungguh-sungguh lelaki yang tak berguna. Bahkan ketika aku sudah
menjadi seorang suami pun, seorang imam bagi dirimu, aku tidak bisa
sedikit pun membahagiakanmu. Aku memang pengecut” Aku dengar suara itu
dengan perasaan gamang. Aku tak bisa berucap apa-apa. Perlahan aku
rasakan kedua mataku basah. Segera aku membasuhnya. ”Maaf, jika karena
diriku, kamu harus merelakan kebahagiaanmu tergadaikan oleh sikapku ini.
Mungkin kamu tidak akan menemukan kebahagiaan itu bersamaku. Tapi aku
selalu berharap, kelak kaupun bisa menemukan kebahagiaanmu itu” Ucap
Yusuf lagi pelan. ”Bagaimana mungkin aku bisa bahagia, bila orang yang
aku cintai tidak bahagia” Ucapku menyahuti perkataan Yusuf. Aku tak
mendengar dia berucap. ”Aku memang memiliki dirimu, tapi aku tidak
memiliki cintamu. Aku memang bukan siapa-siapa dihatimu, tapi aku
berharap….kau tidak lagi memikirkan Alifa” Sambungku sekenanya.
”Alifa?!” Tanya Yusuf kaget. ”Dari mana kau tahu tentang Alifa?” Aku
bangkit dari tidurku dan kuhadapkan wajahku padanya. Wajah yang penuh
kecemburuan pada seorang wanita yang bernama Alifa. ”Kau tidak perlu
tahu darimana aku tahu tentang Alifa, yang terpenting, aku hanya minta
satu darimu, tolong lupakan Alifa. Biar bagaimanapun, aku istrimu yang
sah. Dan seperti seorang istri pada umumnya, aku tidak terima kalau kau
masih saja terus memikirkan perempuan lain. Aku bukannya egois, tapi aku
hanya ingin membantumu untuk tidak menyakiti Allah lebih banyak lagi.
Aku yakin kaupun mengerti akan hal ini” Jelasku sambil menatap kedua
matanya yang jeli.
Kembali aku rebahkan tubuhku di tempat tidur dengan membelakanginya.
Kutarik selimut untuk menutupi tubuhku dan kumatikan lampu yang ada
diatas meja kecil disamping tempat tidur. Aku berusaha memejamkan mataku
sebisanya. Dalam hati kecilku, aku masih berharap Yusuf mau menyentuhku
dan menganggapku sebagai seorang istri. Biar bagaimanapun, akupun sama
seperti seorang istri pada umumnya, menginginkan kebahagiaan atas
dirinya di malam pertama pernikahannya. Melakukan ibadah bersama
sebagaimana sepasang suami istri pada umumnya. Memadu kasih dengan
kerelaan hati dan jiwa, diiringi dengan munajat sepasang pengantin yang
tengah dimabuk cinta dan berharap pahala yang banyak dari Allah swt.
Dapat melahirkan generasi pilihan yang dapat menegakkan kalimat Allah di
muka bumi ini. Tapi semua harapanku seolah sirna ketika Yusuf lebih
memilih untuk tidur membelakangiku dan mematikan lampu yang ada
disebelahnya. Keadaan kamar saat itu gelap seketika. Aku tak bisa
merasakan apapun kecuali sakit yang tiba-tiba saja menyusup dalam dada.
Aku ingin menjerit, aku ingin berteriak, tapi aku kembali sadar, bahwa
ini hanya sebuah ujian yang Allah berikan untukku. Dan aku yakin, akan
ada berlimpah-limpah hikmah yang akan aku dapat jika aku bersabar
karenanya. Rabbi, kuatkanlah aku malam ini……..
* * *
Waktu seolah lamban sekali berputar. Malam ini, aku benar-benar
tidak bisa tidur. Entah dengan Yusuf. Berkali-kali aku merasakan tempat
tidur yang kami tiduri bergoyang karena Yusuf sering sekali
membalik-balikkan tubuhnya. Sedangkan aku masih dengan posisiku yang
semula. Aku merasakan pegal yang teramat sangat di bagian pinggangku
karena semalaman aku tidur dengan posisi miring membelakanginya. Kuraih
ponselku yang tergeletak diatas meja kecil dekat lampu. Kunyalakan.
Ternyata baru pukul setengah tiga pagi. Sudah bosan rasanya aku dengan
keadaan seperti ini. Ingin berbuat sesuatu, tapi apa? Tiba-tiba aku
merasakan Yusuf bangkit dari tempat tidur. Entah dia berjalan kemana.
Aku enggan menolehkan kepalaku untuk melihat sedang apa dia sekarang.
Sejurus kemudian aku mendengar dia bersuara. ”Din, aku mau ke masjid.
Mau shalat tahajud lalu menunggu hingga subuh datang” Ucapnya padaku.
Aku dengar dia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Aku bingung
harus berbuat apa. Seketika saja aku bangkit dari tidurku dan berlari
mengejarnya. Aku berdiri di depan pintu untuk menghadangnya keluar.
Segera saja aku kunci pintu. Kuncinya aku cabut dan kupegang dengan
erat. ”Kau tidak boleh kemana-mana!” Ucapku tegas. Aku menatapnya dengan
tajam. Kulihat pandangannya seolah bertanya-tanya akan sikapku.
Sedangkan aku masih berdiri di depan pintu sambil mengatur nafasku.
”Kenapa aku tidak boleh? Aku hanya ingin pergi ke masjid untuk shalat
tahajud dan menunggu hingga subuh datang. Aku hanya ingin shalat” Ucap
Yusuf seolah mempertegas pernyataannya yang pertama tadi. ”Kau tidak
boleh kemana-mana sebelum kau melakukan tugasmu sebagai seorang suami!”
Kataku sambil diiringi dengan nafasku yang tersengal-sengal. Aku yakin
tatapanku begitu meyakinkan untuknya. Dia tidak bersuara sedikitpun.
Tapi raut wajahnya begitu memperlihatkan kebertanya-tanyaannya. Aku
kembali berucap. ”Subuh masih dua jam lagi dan kau masih punya waktu
untuk menunaikan tugasmu sebagai seorang suami yang bukan seorang
pengecut!” Matanya tidak berkedip sedikitpun dan wajahnya terlihat
hampa. Bibirnya bergerak sedikit tapi tidak mengucapkan apapun. Aku
terus saja menatap wajahnya. Tiba-tiba mataku basah dan sejurus kemudian
aku menangis sejadi-jadinya. Aku menangis karena memikirkan tindakan
dan perkataanku barusan padanya. Aku tersadar. Mana mungkin Yusuf mau
memenuhi permintaanku sedangkan rasa cinta untukkupun dia tidak punya.
Yusuf memandangiku yang sedang menangis. Tak sedikitpun dia berpikir
untuk menghampiriku untuk sekedar menghapus air mataku. Ditengah
tangisku aku berucap, ”Mungkin aku egois karena tidak memimikirkn
perasaanmu, dan mungkin aku egois karena seakan-akan aku memaksakan
cintamu padaku. Tapi aku ingin tanya, apakah pernah kau memikirkan
perasaanku ketika pertama kali aku tahu kalau kau tidak mencintaiku?
Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika surat darimu yang aku
kira surat cinta, ternyata adalah surat yang isinya begitu menyakitkan
untukku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika kau menyebutkan
ada ’nama lain’ di hatimu dan itu bukan aku? Apakah pernah kau
memikirkan perasaanku ketika di malam-malam menjelang hari pernikahanku,
bukan kebahagiaan yang aku rasakan melainkan kesedihan demi kesedihan
yang terus menyayat hatiku? Apakah tak tergerak sedikit saja hatimu,
ketika kau melihat air mataku jatuh di malam pertama pernikahanku?
Apakah pernah kau memikirkannya??!” Tanyaku sambil terus menangis. Aku
tertunduk lemas didepan pintu kamar sambil sesenggukkan. Berkali-kali
aku hapus air mataku tapi air mata itu keluar begitu saja seiring dengan
hatiku yang semakin sakit akan sikap Yusuf yang biasa-biasa saja
terhadapku. Sesaat lamanya aku menangis dan Yusuf juga hanya bisa
menundukkan kepalanya tanpa berbuat apapun. Aku semakin gemas dibuatnya.
Dia memang laki-laki yang pengecut. Untuk hal ini saja dia tidak bisa
mengambil keputusan. Akhirnya aku putuskan untuk membiarkannya pergi.
Aku buka pintu dan kupersilahkan dia untuk pergi. Kemana saja yang dia
mau tanpa harus memikirkan diriku. ”Pergilah!” Ucapku tanpa memandang
wajahnya. ”Pergilah kemanapun kau suka. Pergilah ketempat yang bisa
membuatmu tenang. Pergilah agar kau tidak selalu melihat diriku.
Pergilah tanpa kau harus memikirkan diriku disini. Aku tidak akan
memaksamu. Pergilah!!” Perintahku dengan suara agak serak. Lagi-lagi
kurasakan air mataku jatuh membasahi pipiku. Segera saja kuhapus. Sesaat
kemudian aku mendengar dia melangkahkan kakinya mendekat kearahku.
Tiba-tiba dia memelukku dengan sangat erat. Aku terkejut dibuatnya. Air
mataku semakin deras membasahi pipi. Di dalam pelukannya aku berucap,
”Pergilah! Aku sudah bilang aku tidak akan memaksamu. Pergilah! Jangan
biarkan hatimu tersakiti oleh perbuatan yang sebenarnya tidak ingin kau
lakukan. Pergilah! Pergilah!” Ucapku sambil terus menangis. Yusuf
semakin erat memelukku. Sejujurnya, aku merasakan kehangatan berada
dalam pelukannya.
Tiba-tiba Yusuf menutup pintu kamar dan menguncinya. Tanpa berucap
sepatah katapun dia mengajakku ke tempat tidur. Kududukkan tubuhku di
pinggirannya dan diapun duduk di hadapanku. Tangannya menghapus air
mataku. Dia menatapku dan berucap, ”Subuh masih dua jam lagi dan aku
masih punya waktu untuk menunaikan tugasku sebagai seorang suami. Dan
akan aku buktikan, bahwa aku bukan seorang pengecut”. Aku mengerti apa
yang diucapkannya. Aku tak menyahuti perkataannya lagi. Perlahan dia
melepas jilbab yang aku kenakan. Dia membuka ikatan rambutku dan
perlahan tangannya menyentuh kancing-kancing bajuku. Dia merebahkan
tubuhku. Dan dalam kegelapan malam, aku dan Yusuf melakukan ibadah itu
bersama. Melakukannya dengan penuh kekhusyukkan, ketenangan, meskipun
aku tahu, tak ada cinta yang dia berikan untukku. Tapi sungguh, malam
ini aku benar-benar menjadi seorang istri. Aku selalu berharap, Allah
masih bersedia memberikan sedikit pahalaNya atas ibadahku dan Yusuf
malam ini. Ya Allah, berkahi malam ini untukku dan suamiku. Amin.
* * *
Tujuh Tiga hari kami berada di hotel. Tak banyak
waktu yang kami gunakan untuk melakukan segala aktivitas yang biasanya
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sedang berbulan madu pada
umumnya. Jalan-jalan bersama, melihat pemandangan suasana malam di
beranda kamar hotel, atau sekedar sarapan bersama sambil bercerita
hal-hal yang indah yang Bisa membangkitkan keromantisan dalam berumah
tangga. Semua itu hanya impian belaka bagi kehidupanku yang sekarang.
Selepas shalat Subuh, Yusuf pergi keluar dan baru akan kembali setelah
waktu dhuha sudah hampir hilang. Sedangkan aku, kuhabiskan waktuku
sendirian di dalam kamar sambil membaca buku atau tilawah qur’an sambil
sedikit menghafalnya. Tadi pagi Yusuf tak pergi kemana-mana. Dia bilang
tugasnya disekolah sudah menumpuk. Dia tak ingin tidak masuk mengajar
lebih lama lagi karena kasihan murid-muridnya. Ya, Yusuf memang seorang
guru fisika di Sekolah Menengah Pertama Labschool di kawasan Kebayoran.
Dari sekolahnya sebenarnya mengizinkan dia untuk libur sampai lima hari,
tapi dengan alasan banyak kerjaan yang tertunda kalau dia libur sampai
lima hari, akhirnya dia memutuskan untuk pulang hari ini. Akupun
menerima keputusannya dan berusaha menerima alasannya juga. Semua barang
sudah dikemas dengan rapi. Tak banyak barang yang kami bawa sebab kami
datang kesini langsung dari pesta walimatul ursy. Hari ini kami sepakat
untuk pulang kerumah orang tua Yusuf yang terletak di kawasan Cawang,
Jakarta Timur. Setelah dirasa cukup, kamipun pulang meninggalkan hotel.
Tak banyak yang kami perbincangkan selama dalam perjalanan pulang,
bahkan seolah tak ada topik yang enak untuk dibahas bersama. Suasana
didalam taksi benar-benar hening, sunyi, dan senyap. Sesekali supir
taksi yang kuketahui bernama Pah Burhan, berseloroh mengenai
cerita-cerita lucu. Aku dan Yusuf hanya tersenyum kecil lalu kembali
diam. Kadang-kadang Yusuf menimpali dan menyahuti celotehan Pak Burhan
itu. Aku jadi tak berselera.
Di sekitar kawasan Jalan MT. Haryono taksi yang kami tumpangi
berhenti. Bukan karena mogok atau kehabisan bensin, tapi karena macet
tengah menghadang kami. Cukup lama taksi terjebak oleh kemacetan itu.
Ditengah hiruk pikuk kota Jakarta, tiba-tiba saja Pak Burhan
mengeluarkan pertanyaan yang membuatku dan Yusuf saling bertatap muka.
”Oh iya, kalian ini suami istri kan?” Tanyanya sambil melihat kaca spion
yang ada di atas kepalanya. Aku dan Yusuf mengangguk. ”Kenapa memang
Pak?” Tanya Yusuf. ”Ah tidak. Saya takut saja kalau kalian ini bukan
suami istri tapi kok keluar dari hotel. Ternyata kalian memang
benar-benar suami istri. Syukurlah” Ucap Pak Burhan sambil sesekali
membasuh peluh yang mengalir di pelipisnya. Suaranya menunjukkan sekali
keciri khasannya bahwa dia ini orang Batak. ”Kenapa Bapak bertanya
seperti itu?” Tanyaku tiba-tiba. ”Tidak. Tidak kenapa-kenapa. Habis saya
perhatikan dari tadi, kalian ini kok hanya diam-diaman saja tanpa
berbicara sedikitpun. Kenapa rupanya kalau saya boleh tahu?” Tukas Pak
Burhan. Aku dan Yusuf terdiam. Aku mengalihkan pandanganku kearahnya dan
diapun begitu. Lalu kami mengembalikan pandangan kami ke luar. Aku tak
tahu jawaban apa yang harus aku berikan untuk pertanyaan Pak Burhan yang
sebenarnya bisa aku jawab dengan jawaban, ”Kami seperti ini karena
suami saya tidak mencintai saya Pak”. Tapi aku hanya bergumam dalam
hati. Pak Burhan kembali bertanya. ”Waduh!! kalian ini kenapa malah diam
lagi? Kalau memang saya tidak boleh tahu, ya tidak apa-apa. Tapi kalau
saya boleh saran, janganlah suami istri itu saling diam dan acuh tak
acuh. Tidak baik itu. Kalian itu dipertemukan oleh Allah dan
sepatutnyalah kalian bersyukur akan hal itu. Kalau memang kalin punya
masalah, maka selesaikanlah secara baik-baik. Dibicarakan apa
permasalahannya lalu carilah jalan keluarnya secara bersama-sama. Dan
semua itu butuh komunikasi yang kuat. Tidak diam-diaman seperti ini.
Macam mana pula kalian ini. Saya ini hidup berkeluarga itu sudah hampir
36 tahun, tapi keadaan rumah tangga saya dan istri baik-baik saja,
karena kami selalu membicarakan apapun yang menurut kami mengganjal
dihati. Seperti itulah kalian berdua.” Jelas Pak Burhan panjang lebar.
Aku yang mendengarnya benar-benar tersentuh. Memang benar apa yang di
katakan Pak Burhan. Segala sesuatunya itu memang harus dibicarakan agar
tidak ada kesalah pahaman. Tapi apa yang mau dibicarakan kalau semuanya
sudah jelas kalau keadaan seperti ini disebabkan oleh ketidak mampuan
suamiku untuk mencintaiku. Aku perhatikan Yusuf hanya terdiam. Mungkin
diapun tengah memikirkan perkataan Pak Burhan barusan. ”Kalau saya boleh
tahu lagi, sudah berapa lama kalian ini menikah?” Tanya Pak Burhan lagi
mengejutkanku. Kuarahkan pandanganku padanya. Kali ini Yusuf menjawab,
”Baru tiga hari Pak” ”Wah! Wah! Wah! Baru tiga hari rupanya. Pengantin
barulah kailan. Kuucapkan selamat ya? Berarti, ke hotel kemarin itu
untuk bulan madu ya? Wah! Bergembiralah kalian. Berapa ronde sudah
kalian mainkan?” Tanya Pak Burhan membuatku bingung. ”Berapa ronde
apanya Pak?” Yusuf balik bertanya. ”Ah! Masa kalian tidak mengerti. Itu,
ronde kalian bermain cinta. Masa tidak mengerti. Kaulah anak muda.
Pura-pura saja kau tidak mengerti. Tapi maklumlah aku, namanya juga
pengantin baru. Jadi masih perlu banyak belajar” Tukas Pak Burhan
santai. Aku dan Yusuf saling berpandangan sesaat lalu kembali terdiam.
Taksi sudah mulai berjalan. Kamipun terlepas dari jebakan macet. Yusuf
lebih memilih diam tanpa mau menjawab pertanyaan Pak Burhan tadi. Aku
sendiri memikirkan perkataan Pak Burhan. ”Namanya juga pengantin baru,
jadi masih perlu banyak belajar” Ya, aku dan Yusuf memang masih harus
banyak belajar. Belajar untuk lebih sabar dalam menghadapi kenyataan
hidup, belajar untuk lebih bisa menerima keadaan kami satu sama lain,
belajar untuk bisa lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan
Allah, dan belajar untuk lebih bisa menghargai dalam mencintai. Belajar,
belajar, dan belajar. Itulah yang sekarang sedang aku dan Yusuf
usahakan dalam mengisi hidup ini. Utlubul ilma minal mahdi ilallahdi.
* * *
Sesampainya dirumah, aku dan Yusuf langsung disambut hangat oleh
orang tua Yusuf yang kini telah menjadi mertuaku, dan juga orang tuaku
yang kini telah menjadi mertua Yusuf. Mereka begitu bergembira melihat
kedatangan kami. Aku peluki Mama dan Papa dengan penuh kerinduan. Entah
mengapa, aku benar-benar merindukan mereka. Tak lupa aku memeluk Bu
Rahayu yang tak lain adalah ibu mertuaku dan mencium tangan Pak Sardi
yang tak lain adalah ayah mertuaku. Hari itu kami habiskan dengan
memperbincangkan hal-hal kecil seputar pernikahan dan bulan madu kami
selama tiga hari di hotel. Setelah cukup lama di rumah mertuaku, Mama
dan Papa memutuskan untuk pulang. Mulai hari ini, aku telah resmi
menjadi bagian dari keluarga Pak Sardi dan Bu Rahayu. Sebelum mereka
pulang, aku memeluk mereka dengan erat sambil menangis di pelukannya.
Sungguh, aku tak bisa menahan tangis haruku ketika mereka memutuskan
untuk melepasku dan menyerahkanku pada Yusuf dan keluarganya. Mereka
hanya menenangkanku dengan ucapan-ucapan yang tidak bisa aku terima
dalam hati. ”Sudahlah Din. Kamu ini sudah berkeluarga. Ikutlah apa yang
suamimu bilang. Jangan sampai mengecewakannya ya? Mama dan Papa akan
sering-sering menghubungimu. Kami yakin kamu akan bahagia hidup bersama
mereka. Ya?” Itulah perkataan yang diucapkan Mama sebelum dia pulang
bersama Papa. Aku memandangi mereka dari kejauhan. Semakin lama mereka
hilang dari pandanganku. Jauh, jauh, dan akhirnya hanya tinggal bayangan
mereka saja yang selalu aku ingat dalam pikiranku. Aku, Yusuf, dan
orang tuanya masuk kembali ke dalam rumah. Hari sudah semakin malam.
Ayah mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Aku dan Bu Rahayu
membereskan gelas-gelas dan piring kotor untuk dicuci di dapur. Yusuf
masih tenang di depan televisi sambil menonton siaran berita malam. Tak
pernah ada senyum yang mengembang di wajahnya. Aku membantu ibu mertuaku
mencuci piring. Kami banyak berbincang tentang pengalaman beliau selama
berumah tangga dengan Pak Sardi. Dari perbincangan itu aku banyak
menemukan pelajaran-pelajaran baru dalam berumah tangga. Bagaimana
caranya membuat suami bahagia, apa yang harus dilakukan seorang istri
jika suaminya marah, dan masih banyak lagi yang ibu mertuaku beri
tahukan padaku soal kehidupan suami istri. Termasuk hal-hal intim yang
menurut sebagian orang tabu untuk dibicarakan. Aku melihat sosok Bu
Rahayu begitu terbuka. Begitu ramah dan baik dalam bersikap.
Kelembutannya sebagai seorang ibu tidak mengalahkan sikap ketegasannya
dalam bertindak. Apa yang menurutnya benar, ya maka dibenarkannya. Tapi
jika menurutnya salah, maka diapun tak segan-segan memberikan peringatan
pada siapapun dengan tegas dan baik tapi tidak terkesan menghakimi. Hal
itu aku ketahui ketika dia bercerita tentang Yusuf yang ketika kecil
sering membuat onar dengan teman bermainnya. Suatu ketika, orang tua
temannya itu pernah mengadu pada Bu Rahayu kalau Yusuf telah memukul
anaknya itu sampai berdarah. Sebagai ibu yang adil dan bijaksana, Bu
Rahayu memberikan hukuman yang setimpal pada Yusuf. Dia akhirnya jera
dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Diam-diam aku salut pada ibu
mertuaku. Dia sosok yang sekarang ini menjadi pengganti Mama di
kehidupan baruku. Dia pula yang secara tidak langsung dapat menguatkanku
dalam menghadapi masalahku dengan Yusuf. Tak terasa waktu sudah
beranjak malam mendekati dini hari. Aku dan ibu mertuaku memutuskan
untuk segera tidur. Di ruang tamu tidak lagi aku dapati Yusuf disana.
Mungkin sudah masuk kamar. Semua lampu sudah dimatikan. Sebelum masuk
kekamarnya, Bu Rahayu memberikan senyumannya padaku. Aku membalasnya.
Aku masih berdiri di depan kamar Yusuf yang kini juga menjadi kamarku.
Kutarik nafasku dalam-dalam dan kupejamkan mataku. Perlahan kusentuh
gagang pintu kamarku dan mulai kubuka. Tiba-tiba saja dari dalam, Yusuf
membukanya dan mendapatiku tengah terkejut menatap wajahnya. ”Kenapa
berdiri saja disitu? Ayo masuk!” Perintahnya padaku. Aku hanya
mengangguk dan mengikutinya masuk ke kamar. Dia merebahkan tubuhnya di
atas tempat tidurnya yang empuk. Lampu yang ada disebelahnya sudah
dimatikan. Cahaya yang ada tinggal dari lampu yang ada disebelah tempat
aku tidur. Aku belum mau mematikannya. Aku membuka jilbabku dan aku
duduk di depan cermin. Kusisiri rambutku perlahan sambil memandangi
Yusuf dari balik cermin. Tubuhnya membelakangiku. Setelah selesai
menyisir, aku melangkah ketempat tidur dan bersiap untuk tidur. Posisiku
sama seperti posisi dia membelakangiku. Kumatikan lampu yang ada
disebelahku dan kupejamkan mataku. Suasana malam ini begitu dingin.
Selimut yang menutupi tubuhku dan Yusuf seolah tak bisa memberikan rasa
hangat yang lebih pada hatiku yang semakin membeku. Dalam pejam malamku,
aku berdo’a, ”Ya Allah, kuatkanlah aku untuk bisa menghadapi semua
kenyataan ini. Amin” * * *
Delapan Detik berganti detik, menit berganti menit,
jam berganti jam, hari berganti hari, dan minggu berganti minggu. Tak
terasa sudah lima bulan lamanya aku hidup sebagai seorang istri.
Menjalani hidup ini dengan seorang suami yang sampai sekarang belum bisa
menerimaku sebagai istrinya. Sampai sekarang pula tak pernah sedikitpun
aku lihat sebuah kilatan cinta dimatanya untukku. Tak pernah ada
tatapan mesra penuh kehangatan yang dia berikan padaku ketika dia pulang
dari kerjanya ataupun ketika aku pulang dari kewajibanku bekerja di
sebuah perusahaan majalah Islam. Karena hal ini juga, novel ketigaku
yang harusnya sudah rampung beberapa bulan yang lalu, kini harus rela
tertunda karena masalah hatiku. Suasana di rumah dan di kantor sangat
berbeda sekali. Di rumah tak bisa aku temukan kemesraan seikitpun dari
suamiku, Yusuf. Tetapi dikantor, aku justru menemui Arini dan Fauzi yang
kian hari kulihat kian mesra. Tak jarang aku mendengar cerita Arini
tentang Fauzi, suaminya, yang menurutnya sangat lembut dan mesra sekali
pada dirinya. Aku semakin iri dibuatnya. Andai saja Arini tahu apa yang
aku alami selama hidup berumah tangga, aku yakin Arinipun akan menangis
dibuatnya. Dia adalah tipe perempuan yang mudah sekali menangis bila
melihat atau mendengar kabar atau berita yang menyedihkan. Saat ini dia
tengah mengandung dua bulan, hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku hanya
bisa tersenyum kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya
selama dia mengandung. Tak jarang aku dibuatnya kebingungan tatkala dia
menanyaiku kapan aku mau menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya
menjawab, ”Do’akan saja ya Rin? Mudah-mudahan Allah berkenan menitipkan
bidadari kecilNya padaku dan suami” ”Amin”, Sahut Arini mengamini.
Mengingat hal itu, aku jadi teringat akan bulan maduku bersama Yusuf di
hotel Maharani lima bulan yang lalu. Aku ingat betul, sejak kejadian itu
sampai sekarang, kami baru melakukannya lima kali. Ya, bisa
diperhitungkan dalam sebulan itu hanya sekali kami melakukannya. Maka
tak jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk makan sahur agar
keesokannya aku kuat melakukan shaum10. Hal itu
sengaja aku lakukan untuk menahan keinginan biologisku yang tak
tersalurkan. Terkadang pula sebelum aku makan sahur, aku terlebih dulu
melaksanakan shalat tahajud dan sedikit bermunajat pada Sang Maha
Pencipta. Meminta kekuatan untuk bisa menjalani hidup ini, meminta
kesabaran agar aku bisa lebih tabah menerima keadaan suamiku, dan tak
lupa, meminta kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar berkenan menitipkan
bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang sudah lama aku nantikan.
Bidadari mungil yang sebenarnya sudah aku impikan sebelum aku menikah.
Bidadari cantik yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku
hidup bersama seorang suami. Bidadari yang mungkin kini akan lama hadir
dalam kehidupanku. Ditengah munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku
jatuh membasahi putihnya warna mukena yang kukenakan. Selesai
bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat witir 3 rakaat lalu
kemudian aku makan sahur. Seadanya saja. Biasanya setelah sahur, aku
mengambil buku harianku dan kutuliskan semua keadaan hatiku disana.
Tentang Yusuf suamiku, tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan
tentang harapan-harapanku di masa depan. Terkadang ayah dan ibu mertuaku
bertanya padaku kenapa sering sekali melakukan puasa sunnah. Aku hanya
menjawab, ”Ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak
melakukan ibadah-ibadah sunnah” Biasanya ayah dan ibu mertuaku hanya
mengangguk-angguk pelan. Aku juga sering mandi sebelum subuh. Hal itu
aku lakukan agar mereka tak menaruh curiga padaku. Mereka pasti akan
berpikir kalau aku mandi sebelum subuh, itu artinya semalam aku dan
Yusuf baru memadu kasih. Aku hanya ingin mereka berpikiran yang
baik-baik terhadap aku dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan
ketika aku masih tinggal dirumah mereka. Tapi kini, hal itu tak perlu
lagi aku lakukan. Beberapa hari yang lalu aku dan Yusuf memutuskan untuk
mengontrak rumah di darerah Lenteng Agung. Tak besar memang, tapi aku
rasa inilah yang terbaik yang harus kami lakukan. Tempat tidur, lemari
pakaian, komputer, bufet, televisi, kursi, dan meja, semuanya telah
tertata dengan rapi dirumah kontrakan baruku. Mama, Papa, Ayah, dan Ibu
mertuaku turut membantuku merapikan rumah. Mereka benar-benar mengira
kalau kehidupanku dan Yusuf amatlah bahagia, sampai-sampai kami memilih
untuk mengontrak rumah karena ingin belajar hidup mandiri. Aku hanya
bisa meminta do’a restu mereka agar aku dan Yusuf memang benar-benar
Bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah ini. * * * Malam
ini Yusuf tengah bergelut dengan laptopnya. Aku sendiri tak tahu apa
yang sedari tadi dikerjakannya. Selepas Maghrib tadi dia sudah mulai
duduk di depan laptop sambil mengetik beberapa tulisan yang ada
dihadapannya. Beberapa lembar kertas berserakan di meja dan itu
membuatnya tampak sangat sibuk. Sepertinya tak ada jeda untuk dia
melakukan aktivitas lain. Dia menjeda kegiatannya tatkala azan Isya
berkumandang dari masjid dekat rumah baru kami. Masjid Al Mustofa
namanya. Kali ini dia memilih untuk shalat Isya dirumah ketimbang di
masjid. Alasannya kalau di masjid, selesai shalat tidak Bisa langsung
pulang karena bapak-bapak disana sering mengajaknya berbincang-bincang
terlebih dahulu. Kalau itu sampai terjadi, maka malam ini dia harus
ekstra lembur karena banyak sekali ketikan yang yang harus diselesaikan.
Selesai shalat Isya, dia kembali lagi bergelut dengan laptopnya di
ruang tamu. Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya padanya sambil
membawakan segelas wedang jahe untuknya agar tidak masuk angin, karena
malam ini ia harus lembur. ”Ngetik apa sih Mas, dari tadi? Sepertinya
kelihatan sibuk sekali?” Tanyaku sambil memanggilnya dengan sebutan
’Mas’. Ya, memang semenjak aku menikah dengannya, aku memanggilnya
dengan sebutan ’Mas’. Diapun tidak keberatan aku memanggilnya seperti
itu. Mendengar pertanyaanku tadi, dia sepertinya agak kesal. Wajahnya
tak tampak seguratpun senyuman. Mungkin karena dia yang sudah sibuk,
ditambah lagi dengan pertanyaanku yang sebenarnya tidak Bisa
membantunya. Mungkin. Itu hanya sebuah kemungkinan saja dariku. Dia
menjawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. ”Ngetik soal
buat UTS11 besok” Jawabnya singkat. ”Memang sebanyak itu?” Tanyaku lagi.
Dia hanya mengangguk. Aku terdiam sesaat lalu beranjak pergi dari
hadapannya. ”Jangan tidur terlalu malam ya? Khawatir besoknya kurang fit
malah tidak Bisa ngajar. Wedang jahenya jangan lupa diminum, biar kamu
tidak masuk angin. Aku tidur duluan ya?” Ucapku sebelum beranjak pergi
ke kamar. Lagi-lagi dia hanya mengangguk lirih. Aku jadi merasa kasihan
padanya. Ketika aku hendak membuka pintu kamar, dia bersuara. ”Terima
kasih ya? Dinda” Ucapnya sambil memandang kearahku. Spontan akupun
menoleh padanya dan memberikannya senyuman. Diapun tersenyum kecil dan
kembali lagi mengetik. Aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan bahagia.
Entah mengapa mendengar dia memanggil namaku seolah mendadak berubah
menjadi panggilan sayang untukku. Dinda. Ya, nama itu seolah menjelma
menjadi panggilan, ’Dindaku sayang’. Ah, andai saja itu benar-benar
terjadi, pasti saat ini aku tengah berbahagia dengan kehidupan baruku.
Tapi paling tidak, mendengar dia memanggil namaku saja aku sudah sangat
senang. Malam ini, aku Bisa tidur nyenyak. ”Terima kasih ya? Dinda”
Suaranya terus menggema di telingaku, sampai aku memejamkan mata.
* * *
Sembilan Di tengah pejam malamku, tiba-tiba aku
terbangun. Aku merasakan haus yang tak tertahankan. Akhirnya aku bangkit
dari tidurku dan melangkah keluar kamar. Betapa terkejutnya aku melihat
suamiku tengah tertidur di depan laptopnya. Kulirik jam dinding. Pukul
sebelas malam. Aku terenyuh melihatnya. Kuhampiri dia. Wajahnya begitu
lelah terlihat. Wedang jahe yang tadi aku buatkan untuknya juga sudah
habis diminumnya. Aku juga melihat ketikan di komputernya. Masih banyak
yang belum ia selesaikan. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan untuk
membantunya? Sejenak aku berpikir. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk
menghubungi Mas Bambang, temannya Mas Yusuf di tempatnya mengajar, untuk
mencari tahu tentang soal-soal yang tengah diselesaikannya sekarang.
Mas Bambang itu mengajar pelajaran matematika. Tapi, apa tidak terlalu
malam untuk menghubunginya? Apa tidak mengganggunya? Ah, ini kan untuk
kebaikan juga. Kalau sampai soal-soal ini tidak selesai malam ini juga,
maka besok tidak ada soal fisika yang bisa dikerjakan. Aku putuskan
untuk menghubungi Mas Bambang melalui ponsel Mas Yusuf yang tergeletak
di meja dekat laptopnya. Kucari nama Mas Bambang lalu kupanggil.
Busmillah. Sesaat lamanya yang kudengar hanya nada sambung. Kuulangi
lagi. Alhamdulillah diangkat. ”Ada apa Suf? Malam-malam kok mengganggu
saja” Ucap Mas Bambang dengan nada kesal. Terdengar sekali suaranya yang
baru saja terbangun dari tidurnya. ”Maaf Mas, saya Dinda, istrinya Mas
Yusuf” Tukasku agak pelan. Takut Mas Yusuf terbangun. ”Oh, maaf…maaf.
Saya pikir Yusuf. Ada apa ya, menelepon malam-malam?” Tanya Mas Bambang
terdengar kaget ketika dia tahu yang meneleponnya adalah istrinya Yusuf,
bukan Yusuf. ”Maaf ya Mas, sebelumnya. Saya hanya ingin tahu mengenai
UTS besok. Apa mata pelajaran Mas Yusuf itu akan diujikan besok pagi,
Mas ya?” ”Oh…iya. Pelajaran fisika itu akan diujikan besok bersama
pelajaran Bahasa Indonesia. Ada apa rupanya ya?” Tanya Mas Bambang ingin
tahu. ”Tidak Mas, tidak ada apa-apa. Ehm…setiap soal pelajaran itu
mendapat jatah berapa nomor ya Mas?” ”Setiap soal pelajaran itu mendapat
jatah 50 nomor, kecuali matematika, hanya 40 nomor” Jelas Mas Bambang
singkat. Kulirikkan mataku ke layar laptop. Soal yang diselesaikan Mas
Yusuf baru 27 nomor. Berarti kurang 23 nomor. Jumlah yang cukup besar
bila harus diselesaikan malam ini juga. Mengingat waktu terus berputar
dan malam semakin larut menjelang. ”Ya sudah Mas, terima kasih kalau
begitu. Maaf ya mengganggu malam-malam” Ucapku masih dengan pelan.
”Ya…ya, tidak apa-apa” Sahut Mas Bambang. ”Makasih sekali lagi Mas, ya.
Assalamu’alaikum” ”Wa’alaikumussalam” Jawabnya menutup pembicaran. Aku
langsung bergerak cepat. Kuputar laptop kearahku. Kubaca dengan seksama
konsep soal-soal fisika yang ada dihadapanku. Setelah cukup, aku mulai
mengetiknya dengan melanjutkan soal yang ada. Dengan teliti aku
membacanya dan mengetiknya. Agak sulit juga rupanya karena banyak
istilah-istilah fisika yang masih sangat asing bagiku. Namun karena
niatku ingin membantu suamiku, maka aku harus benar-benar berusaha untuk
menyelesaikan soal-soal ini. Waktu terus bergulir hingga jam dinding
sudah menunjukkan pukul satu malam lewat lima belas detik. Alhamdulillah
semuanya sudah selesai. Setelah kuteliti ulang dan kurasa benar,
soal-soal itu kumasukkan kedalam flash disk, lalu kuprint semuanya di
komputerku yang ada di di dalam kamar. Alhamdulillah wa syukurillah,
lima lembar soal dengan kertas ukuran folio, huruf times new roman
dengan ukuran 12 font, telah selesai aku ketik. Lega rasanya hati ini
karena akhirnya soal-soal ini sudah selesai. Aku tersenyum bangga.
Kuletakkan lima lembar soal itu di atas meja. Kubereskan semua
kertas-kertas yang ada disana dan kumatikan laptopnya. Setelah semua
beres, aku berniat melaksanakan shalat tahajud. Sebelum kuberanjak ke
kamar mandi, kusempatkan mataku menatap wajah Mas Yusuf. Begitu bersih
dan bersahaja. Tapi sayang, tak pernah kutemukan pancaran cinta yang dia
berikan untukku. Oh, ingin sekali rasanya aku menyentuh wajahnya,
membelai rambutnya, dan…mencium pipinya. Ya, menciumnya. Aku ingin
sekali menciumnya. Sampai sekarang belum pernah aku merasakan ciuman
hangat darinya. Tapi, ah, kuurungkan saja niatku untuk menciumnya
diam-diam. Aku tak ingin menciumnya karena terpaksa. Biarlah. Jika
memang seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan ciuman itu, aku
akan berusaha untuk ikhlas. Hanya dengan keikhlasan dan kesabaran, aku
akan menjalani hidup ini. Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi untuk
mengambil air wudhu. * *
”Dinda, apa semua ini kamu yang mengerjakan?” Tanya Mas Yusuf ketika
dia baru saja terbangun dari tidurnya. Aku melongok keruang tamu dari
balik dinding dapur dan balik bertanya padanya seolah-olah tidak
mengerti apa yang ditanyakannya. ”Mengerjakan apa?” ”Soal-soal UTS ini?”
Jawabnya dengan raut wajah yang tampak bingung sambil membaca dengan
seksama kertas-kertas soal yang dimaksud. ”Oh! Iya, itu aku yang
mengerjakan. Kenapa, ada yang salah?” Mas Yusuf terdiam sejenak. Dia
mengerutkan keningnya. Kedua alisnya hampir saja bertemu ketika membaca
soal-soal itu. ”Ehm….Tidak, tidak ada yang salah fatal. Hanya saja ada
beberapa kata yang salah penulisannya” Jawabnya sambil memandang
kearahku kemudian menunduk lagi memeriksa soal-soal itu. ”Syukurlah
kalau begitu” Sahutku sambil meneruskan aktivitasku memasak nasi goreng
dan telur dadar. Aku kembali berkata pada Mas Yusuf. ”Hari semakin
siang, Mas. Kau belum shalat Subuh” Ucapku lagi pada Mas Yusuf. Sekedar
mengingatkan kalau dia memang belum shalat Subuh.
”Astaghfirullahal’adzim” Ucapnya terdengar di telingaku. Tak lama
kemudian dia bergegas masuk ke kamar mandi tanpa membawa handuk. Dia
melewatiku dengan terburu-buru. Nasi goreng yang kubuat sudah matang.
Kuangkat dan kusajikan menjadi dua piring. Telur dadarnya pun senantiasa
menghiasinya. Kusajikan semuanya di atas meja makan. Dari kamar mandi
terdengar Mas Yusuf sedang mandi. Sepertinya dia lupa kalau dia tidak
membawa handuk. Mungkin awalnya dia hanya berniat untuk mengambil air
wudhu. Tapi karena sudah terlanjur di kamar mandi, ya sekalian saja dia
mandi. Tanpa ingat kalau dia lupa membawa handuk. Setelah meletakkan dua
piring nasi goreng di meja makan, aku bergegas mengambil handuk dan
menyerahkannya pada MasYusuf. ”Mas, ini handuknya!” Ucapku dari luar
kamar mandi sambil mengetuk pintunya. Tak lama dia membuka sedikit pintu
kamar mandi dan mengulurkan tangannya seraya mengambil handuk yang aku
berikan padanya. ”Terima kasih” Ucapnya pelan sambil menutup pintu kamar
mandi. Aku kembali lagi ke meja makan dan menatanya dengan rapi.
Setelah kurasa beres semua, aku beranjak ke kamar untuk menyiapkan
pakaian Mas Yusuf yang akan dia kenakan untuk berangkat mengajar.
Kemudian aku merapikan diriku untuk segera bersiap-siap pergi ke kantor.
Setelah keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung masuk ke kamar dan
mengunci pintunya. Aku sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan.
Tak lama kemudian dia keluar kamar dengan mengenakan pakaian yang tadi
sudah aku siapkan. ”Sudah shalat Mas?” Tanyaku ketika dia baru saja
keluar dari kamar. Dia hanya mengangguk kemudian duduk di salah satu
kursi yang ada di sebelahku. Di hadapannya sudah ada sepiring nasi
goreng lengkap dengan telur dadar dan ketimun serta tomatnya yang kuiris
tipis-tipis. Di sebelah nasi gorengnya sudah aku siapkan segelas teh
manis hangat untuk menghangatkan perutnya. Dia melahapnya dengan
terlebih dahulu membaca Bismillah. Akupun menemaninya makan. Tak ada
perbincangan yang berarti ketika kami sedang makan. Entahlah. Mungkin
sampai detik ini, perasaannya terhadapku belum berubah. Masih dingin dan
acuh. Padahal sebenarnya, aku ingin sekali mendengarkan dia berucap
sepatah kata saja padaku. Kata apa saja itu. Yang penting aku mendengar
dia memanggil namaku seperti semalam. Rasanya indah sekali. Jam dinding
sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh lima menit. Mas Yusuf
menyudahi makannya dengan menenggak teh manis hangat buatanku. Setelah
itu dia beranjak mengambil sepatunya dan memakainya di ruang tamu. Semua
kertas soal yang aku ketik semalam sudah dia masukkan ke dalam tasnya.
Setelah semuanya dirasa cukup dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia
bangkit sambil membawa tasnya. Aku mengiringi langkahnya dari belakang.
Setelah di depan pintu dia berbalik kearahku. Aku mencium tangannya
dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku dengan biasa-biasa saja. Aku
menatapnya. ”Hati-hati di jalan ya? Jangan ngebut” Pesanku sebelum dia
berangkat. Lagi-lagi dia hanya mengangguk pelan tanpa menyahut
sedikitpun. Dia melangkah kearah motornya sambil mengucapkan salam. Aku
pun menjawabnya. Namun tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan
berbalik menghampiriku. ”Ada apa lagi? Ada yang tertinggal?” Tanyaku
dengan penuh kebingungan. Dia menggeleng kemudian bersuara, ”Tidak ada
yang tertinggal namun ada yang terlupa…” Jawabnya membuat aku tambah
bingung. ”Apa yang terlupa? Biar aku ambilkan” Ucapku. ”Tidak usah kau
ambilkan. Aku hanya lupa mengucapkan terima kasih padamu atas bantuanmu
menyelesaikan soal-soal UTS ini. Sungguh, kalau tak ada dirimu, mungkin
pagi ini aku akan kuwalahan menyelesaikan soal-soal ini sendirian sambil
di kejar-kejar waktu. Terima kasih ya karena sudah meluangkan waktu
malammu untuk menyelesaikan pekerjaanku. Suatu saat, pasti akan kubalas”
Ucapnya panjang lebar membuat aku terhenyak. ”Tidak perlu seperti itu.
Memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai seorang istri untuk
membantu suaminya” Sahutku menimpalinya. Dia mengangguk pelan dan
kembali berkata, ”Ya. Kalau begitu aku berangkat. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam” Dia pun menaiki motornya dan sejurus kemudian dia
menyusuri jalanan dan menghilang dari pandanganku. Tiba-tiba saja ada
sesuatu yang merasuki jiwaku. Sesuatu yang menetes di kedalaman hatiku
yang kemudian membuatnya menjadi segar kembali. Entah apa itu. Aku
yakin, itulah cinta. Cintaku yang kian hari kian mendalam pada sosok
suamiku. Cinta yang bisa menguatkanku dalam keberadaanku bersamanya. Aku
pun masuk kedalam dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
* * *
Sepuluh, Ponselku berdering ketika aku tengah sibuk
dengan pekerjaanku di kantor. Awalnya aku kurang menghiraukannya karena
memang pekerjaanku benar-benar menumpuk. Tapi ponsel itu terus
berdering mengeluarkan ringtone ’Merah Saga’nya Shoutul Harokah, nasyid
kegemaranku. Kuangkat. Ternyata dari Mas Yusuf. Pikiranku tiba-tiba
teralih sejenak pada Mas Yusuf yang kini tengah menanti jawaban telepon
dariku. ”Assalamu’alaikum. Ada apa Mas?” Tanyaku segera tanpa basa-basi.
”Wa’alaikumussalam. Nanti sore ada acara di Bumiwiyata Depok. Kita
ketemu disana jam 5 ya? Malamnya kita menginap di rumah Ibu” Jawabnya
singkat dengan cepat. Ibu yang dimaksud adalah ibunya. Aku baru
menyadari, dia tak sedikitpun menyebut namaku. ”Acara apa memangnya
Mas?” ”Acara bedah buku bersama Penerbit Al Kautsar. Bintang tamunya ada
Shoutul Harokah dan Izzatul Islam. Sekalian aku mau cari-cari buku
disana” Sahutnya datar. ”Oh. Ya sudah kalau begitu, kita ketemu disana
jam 5 ya?” ”Ya. Assalamu’alaikum” Ucapnya mengakhiri pembicaraan. Diapun
langsung menutup teleponnya tanpa mendengar dulu jawaban salamku.
”Wa’alaikumussalam” Aku terdiam sejenak sesaat sambil memikirkan apa
yang baru saja aku alami tadi. Mas Yusuf meneleponku. Dia mengajakku
pergi bersama ke sebuah acara. Inilah untuk yang pertama kalinya selama
lima bulan aku menikah dengan Mas Yusuf, dia mengajakku pergi bersama.
Suatu hal yang sebenarnya sudah lama sekali aku impi-impikan. Pergi ke
sebuah acara bersama seorang suami yang Bisa menggandengku dan
menuntunku. Seperti apa yang sering aku lihat. Tapi apakah nanti dia mau
menggandeng dan menuntunku seperti apa yang aku impi-impikan selama
ini? Entahlah. Aku tidak mau terlalu berharap banyak padanya.
Kuselesaikan kembali pekerjaanku. Tak lama kemudian ponselku berdering
lagi. Kali ini satu pesan diterima. Kubuka. Ternyata dari Mas Yusuf
lagi. Bibirku tersenyum kecil sambil membaca isi pesannya.
“Tunggu sj di dpn pintu msk dan jgn kmn2 smp aku dtg”.
Aku membalasnya. “Baiklah. Aku janji tak akan kmn2 smp kau dtg”.
Aku bahagia sekali. Mudah-mudahan saja ini langkah awal untuk
memperbaiki hubungnku dengan Mas Yusuf. Waktu berlalu begitu cepat.
Pekerjaanku sudah selesai. Selepas shalat Ashar aku langsung bergegas
pergi menuju Bumiwiyata Depok. Jarak antara kantorku ke Depok lumayan
jauh, jadi aku putuskan untuk berangkat selepas shalat Ashar agar Mas
Yusuf tak terlalu lama menungguku. Dari arah Rawamangun aku naik mobil
angkot jurusan Pasar Minggu. Setelah sampai di Pasar Minggu, aku turun
dan menyambung lagi dengan Bus jurusan Depok. Alhamdulillah aku mendapat
satu kursi pertama di dekat pintu. Di daerah Poltangan, banyak
penumpang yang turun, namun tak sedikit pula orang yang berebut untuk
naik. Disaat yang bersamaan aku melihat ada seorang ibu tua yang naik
dengan membawa beberapa kantong plastik yang aku perkirakan isinya
sangat banyak karena cara ibu tua itu membawanya sangat berat. Dia
memutarkan pandangannya kesemua tempat duduk yang ada. Penuh. Semua
kursi terisi. Ada satu yang kosong di dekat supir. Ibu itu hendak
menghampirinya sebelum akhirnya seorang pemuda naik ke dalam Bus dan
mendudukkan dirinya disana terlebih dahulu. Ibu itu sudah di dera
keletihan yang teramat sangat. Peluh di wajahnya menggambarkan sekali
kalau dia benar-benar letih dan memerlukan tempat duduk untuk
mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tua. Aku mengalihkan pandanganku ke
semua penjuru Bus. Tak ada yang mau peduli pada ibu itu. Ada seorang
perempuan muda yang asik menelepon sambil tertawa-tawa, ada juga kulihat
seorang lelaki yang usianya aku perkirakan baru 30 tahunan sedang
membolak balikan koran yang tengah dibacanya sambil sesekali melirikkan
kedua matanya ke arah ibu tadi lalu pura-pura kembali membaca. Tanpa
pikir panjang lagi, aku langsung bangkit dari dudukku dan kupersilahkan
ibu itu untuk duduk di kursi yang tadi aku tempati. Aku menemukan
kebahagiaan yang tiada terkira terpancar di wajahnya. ”Terima kasih ya
Nak?” Ucapnya pelan sambil menata barang bawaannya di pangkuannya. Aku
mengangguk pelan dan tersenyum padanya. Bus melaju kencang di jalan
raya. Terus berjalan menyisiri belahan kota Jakarta. Sejenak aku
berpikir tentang semua orang yang ada didalam bus. Kenapa mereka begitu
tega melihat seorang ibu yang sudah tua ini berdiri sambil menahan letih
dan peluhnya sambil menunggu ada yang mau bangkit dan memberikan tempat
duduknya untuknya, sementara banyak dari mereka yang masih sangat muda
dan masih gagah, duduk dengan nyamannya sambil memperhatikan ibu itu
dengan tatapan biasa-biasa saja. Tak ada sedikitpun dari mereka yang
merasa kasihan melihat ibu itu dan tersentuh hatinya lalu bangkit dan
memberikan tempat duduknya untuknya. Apa mereka tak menyadari berapa
banyak pahala yang tengah Allah siapkan bagi mereka kalau saja mereka
mau sedikit saja berbagi pada orang lain yang membutuhkan. Tiba-tiba aku
teringat akan sebuah hadits Rasulullah yang pernah murabbiku sampaikan,
tentang ’amal kebaikan’ di halaqah pekan kemarin. ”Dari Abu
Hurairah ra. berkata, Nabi saw. Bersabda, Barang siapa yang melepaskan
seorang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari
kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan orang yang
sedang mengalami kesulitan, maka Allah akan memudahkan kepadanya di
dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah
akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa
menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barang
siapa yang menempuh suatu jalan untuk memperoleh ilmu, maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di
suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab Allah, dan mempelajarinya
bersam-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketentraman, rahmat
Allah akan menyelimuti mereka, para malaikat berkerumun di
sekelilingnya, dan Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat)
yang berada di sisiNya. Barangsiapa amalnya lambat (kurang), maka
nasabnya tidak akan dapat menyempurnakannya12 ” Aku ingin
sekali mencium bau surga itu. Aku ingin sekali melihat indahnya surga
yang Allah janjikan itu. Aku ingin sekali. Apakah mereka-mereka yang
tengah terduduk itu tidak menginginkan surga itu? Aku yakin mereka pasti
menginginkannya. Tapi aku lebih yakin lagi, meskipun mereka mengetahui
berapa besar balasan yang akan Allah berikan, mereka akan memilih untuk
tetap duduk daripada harus berpanas-panasan sambil berdiri sementara
mereka sudah mendapatkan tempat duduk yang enak. Menurutku, mereka itu
sombong. Mereka menganggap pahala mereka sudah banyak jadi tak perlu
lagi memberikan tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan sebuah
pahala. Dan lebih celakanya lagi, pemikiran seperti itulah yang kini
sudah tersetting di pikiran mereka masing-masing. Dan mereka
juga beranggapan bahwa ibu tua tadi pasti juga akan mengerti kalau
mereka tidak berkenan bangkit, itu karena mereka juga sama-sama lelah.
Tapi menurutku, kadar kelelahan mereka berbeda. Mereka bisa menahan rasa
lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia pingsan kalau
terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo’a agar mereka semua
bisa lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup mereka masing-masing.
Jalanan tidak terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya memang
kadang-kadang mobil yang aku tumpangi berhenti sejenak tapi itu tidak
lama. Meskipun misalnya mobil yang aku tumpangi terjebak macet, aku
berusaha untuk tetap sabar. Aku tak ingin menyalahkan siapapun atas
kemacetan yang terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang banyak orang yang
mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai macet itu sendiri. Ada
yang menyalahi pemerintah karena kurang bijak dalam mengatasi masalah
kemacetan, atau malah justru menyalahi pengguna jalan dan kendaraan yang
kurang Bisa bertanggung jawab dalam menggunakan jalan. Entahlah. Semua
itu hanya pendapat dari masing-masing orang. Yang pasti untukku, macet
ya macet. Biar bagaimana pun kita berkeluh kesah tentang kemacetan,
semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah justru Bisa membuat
masalah baru pada diri kita yang menggerutu tanpa tujuan yang jelas
kepada siapa keluhan itu ditujukan. Lebih baik bersabar dan bertawakal
karena hal itu Bisa membawa kita pada dua keuntungan. Keuntungan yang
pertama, kita Bisa memperoleh pahala atas kesabaran kita, dan keuntungan
yang kedua, kita akan awet muda jika kita selalu berpikiran positif
pada segala hal, termasuk kemacetan. Yang pasti, sebagai manusia dan
rakyat biasa, kita hanya Bisa berdo’a kelak kota Jakarta ini bisa
mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa memikirkan
kepentingan rakyatnya dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan adil
dan bijak. Bumiwiyata sudah di depan mata. Aku turun dari bus dengan
perasaan senang. Aku menyeberang jalan dan sampai di depan Bumiwiyata.
Disana sudah banyak akhwat yang berjilbab lebar dan ikhwan dengan
celananya yang semata kaki dan dagunya yang berjenggot tipis. Aku
teringat pesan dari Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu masuk
sampai dia datang. Aku pun menunggunya. Banyak yang datang namun tak
sedikit pula yang keluar. Aku memandangi mereka dengan biasa saja.
Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17 lewat 15 menit. Aku
sudah mulai gelisah. Kuputuskan untuk menelepon Mas Yusuf di menit ke
25. Tak ada jawaban. ”Telepon yang anda tuju, untuk sementara tidak
dapat di hubungi. Cobalah beberapa saat lagi, atau tinggalkan pesan
setelah nada berikut” Itulah jawaban yang aku dengar berkali-kali
dari operator telepon. Ada apa dengan Mas Yusuf? Aku benar-benar
gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat aku kenal sekali
wajahnya, bahkan tak pernah bisa aku lupa, menghampiriku sambil
tersenyum.
”Assalamu’alaikum” Ucapnya dengan lembut. ”Wa’alaikumussalam” Jawabku
sambil melemparkan senyum padanya. ”Afwan kamu Dinda kan, istrinya
Yusuf?” ”Iya. Kamu pasti Alifa” Jawabku menimpalinya. ”Iya aku Alifa.
Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?” ”Bagaimana
mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang
ke pernikahanku”. ”Oh, syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau
tak akan mengenaliku” ”Tenang saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat
orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu ikut acara ini?” ”Iya.
Kamu sendirian? Yusufnya mana?” ”Mungkin sebentar lagi akan sampai. Tadi
kami janjian untuk bertemu disini” ”Oh begitu” Sahut Alifa datar. Aku
mengangguk sambil tersenyum. ”Oh iya hampir lupa” Tukasnya padaku. Dia
mengambil sesuatu dari tasnya. ”Ini” Ucapnya sambil memberikan sebuah
undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku menerimanya. ”Ini
undangan pernikahanku. Datang ya?” Sambungnya. Aku menatapnya sesaat
lalu kubuka undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah
dengan Guntur Maulana. ”Selamat ya?” Ucapku padanya. Dia mengangguk.
”Kalau begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu
di hari pernikahanku nanti” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku. ”Insya
Allah nanti aku sampaikan” Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari
hadapanku. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi
Mas Yusuf belum juga datang. Kemana dia? Tak lama berselang aku
mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book fair. Dia
temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya
tepat ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.
”Assalamu’alaikum. Yusufnya kemana ukh?” Tanyanya padaku. Aku
menggeleng, ”Wa’alaikumusslam. Belum datang”. ”Oh…Bukannya bareng?” Aku
menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu
Mas Yusuf sudah datang. ”Tadi sih ana ketemu dia di sekolah terus dia
bilang mau pergi jenguk Mas Bambang yang lagi sakit. Tapi dia nggak
bilang mau datang kesini” Jelasnya. ”Memang Mas Bambang sakit apa? Antum
tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?” Tanyaku. ”Tadi pagi kakinya
Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar. Kayaknya
abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah
Mas Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi
nggak tahu juga sih” Aku terdiam sejenak.
”Randi!! Ayo!” Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di
hadapanku yang kutahu bernama Randi. ”Afwan. Ana duluan.
Asslamu’alaikum” Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi
memanggilnya. ”Wa’alaikumussalam” Sahutku. Pikiranku semakin kacau. Apa
Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku sekarang
tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa
Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku
bimbang? Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau
rintik-rintik hujan telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil
payung dari dalam tas dan kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan.
Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku menunggunya disini, pasti aku
sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak berjanji untuk
menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah berada di dalam
tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin deras.
Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan
berucap bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau
aku hendak menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk
mengingkari janjiku pada Mas Yusuf. Setelah shalat Maghrib, aku kembali
lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan sudah mulai
reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi jilbabku. Aku
sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf kembali. Tapi
kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang isinya,
“Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau
dtg. Tp sungguh, aku sdh tk kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd
aku hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg”. Kukirim segera.
Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hamba-hambaNya
yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf.
ternyata. Isinya, “Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji.
Afwan”. Tiba-tiba air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku
berusaha untuk meluruskan pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan
hal-hal baik tentang Mas Yusuf, tapi kenapa air mata ini masih saja
membasahi wajahku? Sekuat tenaga aku yakinkan diriku kalau Mas Yusuf
hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku makanya dia lupa
pada janjinya. Seperempat jam aku menunggunya akhirnya dia datang juga.
Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini. Yang pasti aku berusaha
untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya. ”Maaf ya, maaf banget. Tadi
aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi kakinya
tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak
mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengjak aku untuk menjenguknya. Kamu
tidak marah kan?” Cerocosnya begitu dia sampai di hadapanku.
Aku memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku
bingung harus menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku
juga tidak mau dia tahu kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk
menggeleng sambil berucap, ”Iya” ”Maksudnya?” Tanyanya tidak mengerti.
”Coba kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti,
pasti kau tahu apa maksud dari jawabanku” Sahutku dengan nada datar. Aku
sudah lelah. Dia terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai.
Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku teringat Alifa yang memberikan
undangan pernikahnnya padaku. Aku segera mengambilnya dari dalam tas
dan memberikannya pada Mas Yusuf. ”Nih” Ucapku sambil menyodorkan
undangannya. ”Apa ini?” Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
”Undangan pernikahan Alifa” Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak
lama dia berucap datar. ”Mungkin inilah yang terbaik” Aku hanya diam.
Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya.
Sambil naik aku berkata, ”Sebaiknya kita tidak usah kerumah ibu. Tidak
enak rasanya datang kesana dengan pakaianku yang basah. Lebih baik besok
saja kita kesananya” ”Baiklah” Sahutnya. Motor yang kami tumpangi
segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan
kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah surga
yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah surga yang telah
Allah janjikan itu, bisa juga kami rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang
dapat menentukan. Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan
segalanya dengan jelas. Aku hanya bisa berdo’a dalam diamku. * * * Hari
pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi kesana bersama-sama.
Setelah kemarin aku menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada pihak
penerbit, aku langsung membeli kado pernikahan untuk Alifa. Mas Yusuf
terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia
masih menyimpan nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat
apa-apa. Di depan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas Yusuf menaruh
motornya dengan beberapa motor lainnya yang sudah terparkir lebih dulu
disana. Setelah menulis nama kami di buku tamu dan memberikan
bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk disana, kami
masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya. Senyuman penuh kehangatan
terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benar-benar tidak bisa
memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari ini
dia sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah
hari pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya, saling
mencintai. Tapi Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada
seseorang yang hatinya begitu hancur melihat dia bersanding dengan orang
lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai seseorang yang sudah hidup
bersamanya selama lima bulan lebih, aku sudah bisa melihat ada
kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia
berpikir, ’seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan lelaki
yang bernama Guntur itu’.
Astaghfirullah!! Aku tak mau su’udzan pada suamiku. Kembali
kuluruskan niatku. Aku memasuki halaman rumahnya yang sudah di penuhi
oleh para tamu. Undangan laki-laki dan undangan wanita di pisah oleh
hijab. Aku bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya
mengucapkan kalimat yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat
menikah. ”Barakallah ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah,
mawaddah, wa rahmah” ”Syukran ya?” Ucapnya. Aku mengangguk dan
tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah
katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak pergi,
Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa
dan Mas Yusuf berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama
dengan Alifa dan sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda
dengan Guntur. Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku
mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di
tempat ikhwan. Setelah menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan
isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia
ingin segera pulang. Aku pun menurutinya. Sebelum pulang, sekali lagi
kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang
terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah
mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami
masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu
bahagia.
* * *
Sebelas Tiga bulan telah berlalu dari hari itu. Dan
malam ini, aku kembali meneteskan air mataku. Suami yang aku
bangga-banggakan selama ini ternyata berbohong padaku. Kenapa seseoang
yang taat beragama,rajin beribadah dan membaca Al-Qur’an, serta seorang
yang terbiyah seperti dia bisa membohongiku? Aku tak pernah habis pikir.
Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam
acara munasoroh Palestine di Monas. Tapi ternyata, diantara ribuan,
bahkan puluhan ribu ikhwan yang datang pada acara itu, kedua mataku
menangkap sosok seorang ikhwan yang sudah lebih dari 8 bulan ini hidup
bersamaku. Aku melihat suamiku tengah mengibarkan bendera Palestina,
lengkap dengan topi dan ikat kepalanya yang bertuliskan ’Save
Palestine’. Dia mengibarkan bendera itu dengan penuh semangat dan ghirah
yang selalu membakar jiwa. Entah mengapa Allah swt menampakkannya di
penglihatanku di tengah kerumunan orang-orang itu. Remuk redam rasanya
jiwa ini ketika aku sadar dia membohongiku. Berkali-kali aku yakinkan
diriku bahwa orang yang aku lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika
kutatap sekali lagi wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan dan
dari kerumunan orang, aku mantapkan hati bahwa dia memang suamiku.
Ikhwan itu memang benar-benar Mas Yusufku. Melihat hal itu, langsung
saja aku palingkan wajahku dan mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak
pergi dari awal tempatku berdiri. Aku tidak mau Nadia sampai tahu kalau
ternyata Mas Yusuf menjadi salah satu pengibar bendera Palestina disana.
Sebab dari awal aku sudah terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf
tidak bisa hadir karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan
aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi ketidakpercayaan
padaku atau pun suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf disana. Dengan
gontai kulangkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang
sedang bersemangat itu. Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku
lelah dan ingin mencari minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja, waktu
sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, menandakan bahwa sebentar lagi azan
zuhur akan berkumandang. Segera saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas
menuju masjid terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan /
akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri Masjid Istiqlal
untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan Nadia mencari tempat wudhu
wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya
aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur berkumandang.
Kuselonjorkan kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang
masjid ketika aku dan Nadia sudah mendapatkan posisi yang cukup nyaman
untuk shalat. Sambil menunggu azan berkumandang, kunikmati sebotol air
mineral yang tadi aku beli sambari angin sepoi-sepoi dan semriwing
membelai-belai wajahku. Diwaktu yang sama, kulihat Nadia juga melakukan
hal yang sama sepertiku. Kulemparkan senyum padanya lalu kuarahkan
kembali pandanganku lurus kedepan. Angin sepoi-sepoi terus saja membelai
lembut wajahku ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah dengan air
mata. Aku teringat kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong
padaku? Apa dia tidak mau pergi keacara itu bersamaku sehingga dia harus
berdusta? Atau apa? Sekuat tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya
aku tak ingin bersu’udzan padanya. Tapi….. Seketika air mataku jatuh
membasahi wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur tengah
berkumandang. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat
Zuhur bersama Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah rawatib 2
rakaat. Nadia menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah shalat Zuhur
kami melaksanakan shalat sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali
istirahat sebentar. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami
memutuskan untuk pulang. Diperjalanan Nadia banyak sekali bercerita
tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin sekali tertawa tapi tidak bisa.
Bayang-bayangku tentang Mas Yusuf kembali mengusik pikiranku. Hal itu
mengalahkan semua rasa dan pemikiranku yang kala itu tengah mendengarkan
cerita Nadia. Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa berkomentar
apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya padaku tentang sikapku, aku hanya
menggeleng dan menjawab, ”Nggak. Aku enggak kenapa-kenapa. Terus
bagaimana kelanjutannya?” Lalu Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku
hanya mendengarkannya dengan pikiran yang entah kemana perginya. Nadia
mengajakku mampir sebentar ke warung somay yang ada di Stasiun
Gondangdia. Aku menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi tidak habis.
Nadia membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan padanya.
Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya. Kami naik
keatas dan membeli tiket. Nadia yang membelinya. Jurusan Lenteng Agung
dan Pasar Minggu. Di Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang yang
beratribut Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau topi dan pin yang
mereka kenakan. Memang, semangat saudara-saudara kita di Palestina
tidak pernah surut untuk melawan penjajah Israel, sampai mereka takluk
dan menyatakan menyerah pada rakyat Palestina.
Ya…memang masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat
itu akan ada masanya. Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya.
Sebagaimana dijelaskan dalam wahyuNya, surat Al-Baqarah ayat 85-86. ”Kemudian
kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir
segolongan dari kamu kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap
mereka dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang
kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu
(juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab
(Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi
orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan
dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat
berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang
yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak
akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong” Dari
jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat yang sepertinya aku
kenal. Dia sedang berbincang dengan beberapa teman akhwatnya sesama
aktivis. Aku berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia?
Alhamdulillah setelah berpikir keras, aku mengingatnya. Dia adalah
sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama Alifa ke pesta pernikahanku.
Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan menanyakan kabar Alifa
padanya. Dengan langkah yang pasti, aku mengajak Nadia untuk
menghampirinya. ”Assalamu’alaikum” Ucapku padanya. ”Wa’alaikummussalam”
Sahutnya bersama dengan beberapa temannya. ”Afwan, ana mau tanya, apa
anti temannya Alifa?” Tanyaku sambil mengarahkan pandanganku pada orang
yang kumaksud. ”Oh, iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti
istrinya akh Yusuf kan?” ”Iya. Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa
sekarang? Apa dia tidak ikut munasoroh? Atau mungkin dia pergi dengan
suaminya ya?” Wajah ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram. ”Ada apa
ya Rin?” Tanyaku langsung padanya. ”Ehm…keadaan Alifa sekarang tidak
begitu baik” Jawabnya dengan nada sedih. ”Memang dia kenapa?” Ririn
mulai menjelaskan. ”Seminggu setelah pernikahannya, suaminya meninggal
akibat kecelakaan kereta api. Mobil yang dikendarainya mogok dan
terjebak di rel kereta api. Dan pada saat yang bersamaan, kereta datang
melintas dan Guntur….” Ririn memutus perkataannya. Aku hanya bisa diam
sambil meringis mendengarnya. Dalam hati aku terus beristighfar. ”Lalu
keadaan Alifa sekarang bagaimana?” Tanyaku setelah tadi aku sempat
terkejut mendengarnya. ”Keadaan terakhir yang aku tahu, dia kini
terbaring di rumah sakit karena stres. Awalnya dia bisa menerima
kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya semakin parah. Dia tidak
mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia terus memikirkan
kematian suaminya yang sangat tragis. Dan pada akhirnya dia harus
dilarikan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya semakin lemah dan
parah” Jelas Ririn. Aku diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana
Alifa dirawat. Setelah Ririn memberitahukan dimana Alifa dirawat, aku
segera meminta diri untuk beranjak dari tempatku berdiri kini. Nadia
bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan padanya tentang Alifa.
Sekedarnya tanpa menceritakan padanya kalau Alifa itulah yang sebenarnya
menjadi impian Mas Yusuf.
* * *
Tanpa terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah datang. Segera
saja aku dan Nadia menjejalkan diri masuk kedalamnya. Alhamdulillah bisa
masuk dengan selamat. Di sekeliling kami hampir semua berjilbab putih.
Sangat bisa ditebak bahwa kami habis melakukan aksi munaoroh Palestine
di Monas. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang lain pada kami. Aku
hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah dan merebahkan tubuh ini diatas
tempat tidur. Biasanya sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat baru
yang terpatri dalam diriku untuk kembali bangkit merencanakan hari
esok. Tapi sekarang, entah mengapa tiba-tiba semangat itu seakan pudar.
Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang tadi aku lihat dan juga
bayang-bayang Alifa yang kini mungkin tengah terbaring tak berdaya
dirumah sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah sembuh dan bisa bangkit
merajut hari-hari barunya. Menuju stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua
orang perempuan yang bangkit dari duduknya dan segera saja aku gantikan
tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat kesekeliling tidak ada orang yang
mungkin lebih pantas mendapatkan tempat duduk itu. Aku mengucap syukur
karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian datang kehadapanku
seorang perempuan tua yang mengais rezeki dengan cara menyapu lantai
kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping namun tetap
berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di pinggangnya
terdapat sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas
diberikan oleh penumpang kereta. Dia menadahkan tangan kanannya padaku.
Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima ribu rupiah dan
kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang seribu rupiahnya
untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri saat menerima
uang dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan terima kasih dan kembali
menyapu bagian yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran
melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah. Dia lantas
menanyakan perihal tersebut padaku. ”Kamu memberikannya uang lima ribu
Nda?” Tanyanya dengan memanggilku dengan sebutan ’Nda’. Ya, memang hanya
Nadia yang memanggilku dengan kosakata terakhir dari namaku, ’Nda’.
”Apa menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?” Tanyaku balik padanya.
Nadia mengangguk. ”Menurutku itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang
kecil?” ”Ada. Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya bila
dibandingkan dengan semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Uang
lima ribu itu hanya sebagai ungkapan rasa syukurku saja pada Allah swt
karena paling tidak, Dia masih berkenan mengizinkan aku untuk dapat
hidup enak dan nikmat tanpa harus bekerja keras seperti yang ibu tadi
lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini pada orang-orang yang
memang pantas untuk menerimanya. Lagi pula dia bukan hanya mengemis,
tapi juga secara tidak langsung dia sudah membantu kita dengan
membersihkan lantai kereta ini. Benar kan Nad?” Jelasku pada Nadia.
Nadia mengangguk lagi. Sesaat lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya
angin yang berhembus dari jendela kereta yang berbisik-bisik membelai
wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet banyak penumpang yang turun, namun
hanya sedikit orang yang naik. Alhasil kereta menjadi agak sedikit
lengang. Banyak penumpang yang tadinya berdiri kini mendapat tempat
duduk. Mataku menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian rapi yang
sepertinya tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas mereka. Dengan
masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu
masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai
berjalan kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak
terlihat lagi oleh pandanganku. Beberapa menit setelah kereta melaju di
rel-nya, tiba-tiba terdengar suara bentakan hebat yang dilayangkan oleh
seorang laki-laki. ”Hei! Perempuan tua jalang! Berani-beraninya kau
mengotori sepatuku dengan sampah busukmu itu. Pantaslah tanganmu itu
kuinjak karena kau telah mengganggu kami dengan sapu bututmu itu.
Enyahlah kau dari hadapanku, dasar perempuan tak tahu diri!” Bentak
salah seorang dari penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit
dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat kurang
ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang olehnya. Ternyata yang
berbuat hal yang memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang
penumpang laki-laki yang berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar
yang tadi sempat aku perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina olehnya
adalah ibu tua yang tadi menadahkan tangannya padaku dan Nadia. Ibu tua
itu duduk menangis sambil mengusap-usap tangannya yang katanya terinjak
oleh orang yang menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya. Orang
yang berpakaian rapi yang satunya lagi mengusap-usap bahu temannya itu.
Aku harap dia bisa menyadarkan temannya itu yang sudah berbuat kurang
ajar pada ibu tua itu. Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga
uang, orang yang satunya lagi malah ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.
”Hei! Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku berikan uangku
untukmu. Pergi kau! Dasar perempuan tua tak tahu diuntung. Mengganggu
saja! Pergi kau!!” Ucapnya dengan nada yang lebih tinggi dari orang yang
sebelumnya. Semua penumpang yang ada di dalam kereta mengarahkan
pandangannya pada dua orang laki-laki dan ibu tua itu. Sungguh, aku jadi
naik pitam. Aku sungguh tak tega melihat dua orang itu menghina ibu tua
itu. Aku harus bertindak. Tapi apa? Semua orang yang ada dalam kereta
tidak berani bertindak. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah termasuk
perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di musnahkan. Setelah kurasa
tak ada yang cukup berani meluruskan kesalahan dua orang itu, akhirnya
aku putuskan untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah.
”Cukup-cukup!!” Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa
semua yang ada disana sedang memperhatikanku. Sebenarnya aku sangat
takut dan gemetar, tapi aku yakin aku bertindak yang memang seharusnya
dilakukan oleh setiap muslim yang melihat kemungkaran dan kezaliman. Dua
laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis padaku. Jujur, pada saat itu
aku hanya bisa pasrah pada Allah swt. ”Tidak sepantasnya kalian sebagai
seorang yang berpendidikan, berperilaku seperti itu. Saya yakin kalian
ini pasti seorang yang berpendidikan bukan? Apakah pantas kalian berdua
menghina ibu ini dengan hinaan yang sebenarnya sangat tidak patut keluar
dari mulut kalian sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya
karena sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina
ibu ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana kalian yang licin, lalu
kalian merasa benar untuk mencaci makinya? Kalau hanya karena itu semua
kalian merasa benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan
ibu ini, melainkan kalian” Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua
itu untuk berdiri. ”Apa maksud perkataanmu hei?” Tanya salah seorang
dari dua laki-laki itu yang mengenakan kemeja berwarna biru tua. ”Apa
kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi? Kalau kalian merasa benar
melakukan hal itu, maka kalian pun tak lebih tinggi dari seorang
pecundang. Kalian menghina seorang ibu yang sudah tua renta ini tanpa
sebuah rasa tak tega sedikitpun. Hanya karena dia tak sengaja mengotori
sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga diri kalian hanya
sebatas sepatu kalian yang mengkilap itu?” ”Hei! Tutup mulutmu
perempuan berjilbab. Tahu apa kau tentang harga diri. Hah?” Kali ini
laki-laki yang mengenakan kemeja merah marun yang bertanya padaku.
”Apakah kalian tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kehidupannya
ketika mata kalian melihat dia mencari sesuap nasi dengan membersihkan
gerbong kereta ini? Kemana hati nurani kalian tatkala tangan tua
rentanya menyingkirkan sampah-sampah yang kita buang sembarangan disini?
Saya tanya, apakah pekerjaannya itu mengganggu kalian? Apakah
pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus marah padanya?
Apakah kalian bisa menjawabnya? Hah?!” Dua lelaki itu diam seribu
bahasa sambil saling bertatap-tatapan. Aku masih terus saja merangkul
ibu tua itu tanpa sedikitpun rasa geli dalam diriku karena pakaian yang
dikenakannya sangat kotor. ”Apa yang dilakukannya itu adalah sebuah
perbuatan yang terpuji. Kita yang membuang sampah sembarangan lalu dia
yang membersihkannya, apa kita tidak malu? Sebagai seorang yang
berpendidikan dan beragama, apakah pantas kalian menghina seseorang yang
justru telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersihan? Coba kalian
pikir, kata-kata yang kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan
hatinya. Coba kalian perhatikan air mata yang mengalir di wajahnya. Itu
menandakan bahwa hatinya sangat perih. Demi mendapatkan sesuap nasi
untuk mengganjal perutnya hari ini, dia sampai rela menahan rasa sakit
di hatinya karena ucapan kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh
salah satu diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini
agar kita nyaman berada di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan
padanya? Sebuah cacian dan hinaan. Bahkan untuk mengeluarkan uang seribu
dua ribu saja kalian tidak bersedia, kalian malah menghujaninya dengan
cacian” Itulah ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang kini hanya
bisa diam mematung sambil menatap wajahku dan ibu tua yang kini ada di
sampingku. Aku yakin semua orang tengah memandangi kami berempat. Aku
kembali berkata pada dua lelaki itu.
”Saya yakin kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian
yang berlambangkan Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman
kalian belum sempurna?” ”Hei, jangan bicara sembarangan. Kami orang yang
beriman dan hanya Allah Tuhan kami” Sahut lelaki berkemeja merah marun.
”Kalau kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya kalian bisa lebih
mencintai saudara kalian sesama muslim. Rasulullah bersabda, Belum
sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri14. Kalau memang kalian
mencintai diri kalian, seharusnya kalian juga bisa mencintai saudara
kalian sesama muslim sehingga kalian benar-benar bisa merasakan manisnya
kesempurnaan iman itu. Saya yakin kalian pasti tidak mau memikul
kebohongan dan dosa yang nyata bukan?” ”Apa maksudmu dengan kebohongan
dan dosa yang nyata?” Kali ini laki-laki berkemeja biru tua yang
bertanya. ”Allah berfirman dalam Qur’anNya, Dan orang-orang yang
menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata15. Saya harap, kalian bisa memahami ayat itu. Dalam ayat yang
lain, Allah juga mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok kaum yang
lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari
pada mereka yang mengolok-olok. Mohon diingat akan hal itu. ”Saya hanya
ingin mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian lakukan
itu adalah perbuatan yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat yang Allah
berikan. Coba sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit berpikir,
bagaimana kalau semuanya berbalik dan kalian atau keluarga kalian yang
sekarang ada di posisi ibu ini. Apa perasaan kalian saat ini? Saya yakin
kalian tidak bisa menjawabnya karena jawaban itu sudah kalian telan
mentah-mentah bersama hinaan-hinaan kaliantadi. Harusnya kalian
bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan pada kalian untuk
hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah mencari uang seperti
yang ibu ini lakukan. Tolong kalian buang kesombongan kalian itu. Allah
bisa marah karena pakaianNya kalian pakai. Kesombongan adalah dosa besar
yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah bersabda,
Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan
semut kecil dalam wujud manusia. Mereka dikepung oleh kehinaan dari
seluruh arah. Mereka digiring ke sebuah penjara dalam neraka Jahanam16.
Mereka ditutupi oleh api paling panas dan diberi minuman dari nanah
penduduk neraka17. ”Jadi sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh
kalian. Jangan sampai jabatan dan kedudukan kalian saat ini membuat
kalian gelap mata dan akhirnya terjebak dalam bayang-bayang neraka
jahannam yang tengah menanti orang-orang yang sombong. Saya melakukan
hal ini, karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan dihina.
Sepatutnyalah kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah
yang lebih dulu menempati dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah
mengajarkan kita akan banyak hal. Tentang kebersihan, kesabaran dalam
menghadapi hidup, dan sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi
dengan ikhtiar, tawakal, dan rasa syukur. Betapa hidup ini harus
dijalani tanpa mengenal kata putus asa. Itulah muslim sejati” Dua lelaki
berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut wajahnya terlihat sekali
kalau mereka sangat menyesal. Mereka saling bertatap-tatapan kemudian
mereka mengaku sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu tua itu.
Setelah mengucapkan terima kasih padaku, mereka menyalami ibu tua yang
kini ada disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya dua
lembar uang seratus ribuan. Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia
tersenyum padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik tersenyum
padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan pekikan takbir
dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah mereka yang
mengikuti aksi munashoroh Palestine di Monas.
* * *
Tepat di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku kembali
lagi pada Nadia. Ada beberapa orang mengucapkan selamat padaku. Nadia
menyampaikan rasa salut dan kagumnya padaku. Aku sampaikan padanya bahwa
sungguh saat aku mengucapkan kata-kata itu, yang terbersit dalam
pikiranku adalah bagaimana caranya agar dua lelaki itu bisa mengerti
arti kehidupan ini. Dan sejujurnya aku katakan bahwa sampai saat ini
hatiku masih berdegup kencang. Di stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku
hanya mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya. Kereta terus
melaju dan terus membawaku beserta orang-orang yang ada dalam kereta
menuju stasiun yang satu ke stasiun yang lain. Banyak yang turun namun
tak sedikit pula yang terus memadati sesaknya kereta. Stasiun Lenteng
Agung sebentar lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai aku
pun turun. Aku keluar satsiun dan menghentikan angkot berwarna coklat.
Tepat di sebuah sekolah rumah makan padang aku turun dan membayar
angkotnya. Dirumah kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya.
Teringat kembali semua kejadian yang aku alami hari ini. Aku yang
melihat Mas Yusuf di Monas, pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan
mengabarkan aku kalau Alifa saat ini tengah dirawat di rumah sakit
karena suaminya meninggal, juga kejadian di kereta tadi yang membuatku
semakin mengerti arti hidup ini. Setelah istirahat sejenak, aku mandi
dan shalat Ashar. Mas Yusuf belum juga pulang. Aku menyempatkan diri
memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan malam Mas Yusuf.
Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah
dingin. Sebenarnya aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan
menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya
kuurungkan niatku. Kulihat jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan
untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku ingin sekali menangis.
Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan Rabbku. Menangis dengan air
mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak pernah sesedih ini. Rasanya
sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya. Kucurahkan
semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta
hitamku. Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi
lebih tenang. Hanya buku harianku yang selama ini selalu menemaniku
melewati hari-hari yang baru aku jalani bersama Mas Yusuf. Suamiku yang
aku tahu tidak pernah mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong
padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis
sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku harianku. Kurasa
mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga
pulang. Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan
dimana dia sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu
depan. Mas Yusuf membawa kunci rumah yang satu lagi. Aku melihat kembali
makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur
kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang
kututup dengan tudung saji. Aku kembali lagi kekamar dan bersiap untuk
tidur. Namun baru sekitar 15 menit aku memejamkan mata, tiba-tiba
terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin itu Mas Yusuf. Kudengar
dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih memejamkan mata sambil
memiringkan tubuhku membelakanginya. Aku putuskan untuk tidak bangun dan
menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat mataku yang bengkak
lalu dia menanyakan alasannya. Kumantapkan hati untuk tidur malam ini.
Dan Mas Yusuf? Biarlah dia makan sendiri malam ini. Toh, nasi, sayur,
dan telurnya sudah aku siapkan di meja makan. Biar bagaimana pun, aku
hanya ingin menjadi istri yang baik dan berbakti pada suami. Meskipun
hatiku sakit. Tapi untuk malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan
sendiri. Aku tak sanggup melihat wajahmu. Di luar, hujan turun secara
perlahan mengantarkan deras yang tiada terkira. Dalam pejam malamku aku
berdo’a, ”Ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa suamiku.
Berikanlah kami kekuatan untuk bisa tetap bertahan di jalan IstiqomahMu.
Amin”
* * *
Sisa-sisa hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta. Dan pagi
ini pun hujan masih terus turun dengan derasnya. Sebagian kota Jakarta
sudah ada yang tergenang banjir. Aku lihat di berita pagi yang
menyebutkan bahwa sebagian kawasan di Jakarta sudah terendam oleh banjir
setinggi 1-2 meter. Kebetulan hari ini adalah hari ahad, jadi tidak ada
kegiatan yang mengharuskan aku keluar rumah. Dan aku putuskan untuk
tetap dirumah dan kembali duduk di depan komputer untuk meneruskan
tulisanku. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas
Yusuf sedang menonton televisi. Aku sedang memasak nasi goreng untuk
sarapan paginya. Setelah itu kami sarapan bersama tanpa perbincangan
yang berarti. Hanya suara penyiar berita di televisi yang mengisi
kebisuan kami. Selesai sarapan aku memasak tumis kangkung dan menggoreng
tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi pelengkap menu masakan hari
ini. Selesai masak pukul 08.45. Aku bergegas membersihkan tubuhku dari
sisa asap masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku setelah shalat
dhuha nanti. Hujan belum juga reda sementara petir terus saja
bersahut-sahutan di langit sana. Aku masuk ke kamar dengan sebelumnya
menatap Mas Yusuf yang tengah membaca koran di ruang tamu. Televisinya
dimatikan, mungkin karena takut tersambar petir. Aku shalat dhuha di
kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku.
Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf
memanggilku karena ada telepon dari pihak penerbit. Aku keluar dan
menerima telepon itu. Tak berapa lama, aku menyudahinya. Dari pihak
penerbit memintaku untuk membuat ucapan terima kasih karena novel
ketigaku akan segera diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira.
Berkali-kali kuucap rasa syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Di
tengah derasnya hujan yang belum juga berhenti, aku mendapatkan berita
yang menyejukkan hatiku. Aku kembali ke kamar untuk meneruskan
tulisanku. Kulihat kini Mas Yusuf tengah meringkuk di atas tempat tidur
membelakangi diriku. Kuposisikan diriku di depan layar komputer. Baru
beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf membalikkan tubuhnya dan bertanya
padaku. ”Ada apa dari pihak penerbit menelepon?” ”Memberi tahu kalau
novelku yang ketiga akan segera di proses” Jawabku singkat tanpa
memalingkan wajahku dari layar komputer. Tiba-tiba aku berinisiatif
membuatkan susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya
yang tengah bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca buku. Aku
beranjak keluar kamar untuk membuat susu hangat kemudian ku berikan
padanya. ”Nih Mas. Susu hangat untuk menghangatkan tubuh” Kataku sambil
menyodorkan segelas susu padanya. Dia menerimanya dan meminumnya sedikit
demi sedikit. Aku masih duduk di pinggir tempat tidur sambil
menatapnya. Aku begitu mencintainya. Apakah dia juga merasakan hal yang
sama sepertiku? Kutepis segera pemikiranku. Aku kembali tertuju pada
komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit tanganku dan menyuruhku untuk
tetap duduk. Aku tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak dari
tempat tidur lalu mematikan lampu yang ada di kamar dan menutup semua
gorden di jendela kamar. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apa yang
hendak ia lakukan? Dia berjalan ke arahku dan pada saat yang sama, dia
mengajakku bercinta. Yang aku ingat, terakhir kami memadu kasih…..3
minggu yang lalu. Hatiku kembali berdebar. Mataku menatap penuh tajam ke
arah matanya. Di tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman
surga. Di pojok kamar sana, komputer belum sempat aku matikan. Aku masih
belum mengerti kenapa Mas Yusuf mengajakku bercinta. Jujur, ini adalah
kado terindah untuk novelku yang ketiga. Atau mungkin, ini adalah
penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku.
Entahlah.
* * *
Dua Belas Dua hari setelah hari itu, sepulang dari
kantor aku memutuskan untuk menjenguk Alifa di Rumah Sakit Pasar Rebo.
Keadaan Alifa belum sempat aku beri tahukan pada Mas Yusuf. Setelah
turun dari angkot berwarna merah, aku langsung masuk kedalam rumah
sakit. Menaiki lift dan menuju lantai lima ruang melati. Di kamar 603
aku dapati seorang ibu paruh baya tengah duduk di sebelah seorang
perempuan berwajah manis yang sangat ku kenal, Alifa. Mungkin ibu itu
adalah ibundanya. Sambil tertunduk dia membaca surat Yasin dengan suara
pelan. Aku memasuki kamar itu sambil mengucapkan salam dengan pelan. Ibu
paruh baya itu mengangkat kepalanya kemudian berdiri menghampiriku.
Kucium tangannya sambil berkata. ”Ibu, saya Dinda, sahabatnya Alifa”
”Oh..iya, iya. Terima kasih sudah mau datang menjenguk Alifa” Sahut ibu
paruh baya itu dengan suara agak sedikit serak. Di matanya terdapat
butiran-butiran kecil air mata. Mungkin dia habis menangis. Entahlah.
Sejurus kemudian aku mengalihkan pandanganku pada Alifa. Gadis cantik
nan ayu itu kini terbaring lemah tak berdaya di kasur rumah sakit. Wajah
terlihat pucat dan tubuhnya tampak begitu kurus yang di tutupi dengan
selimut tebal. Jilbabnya kini agak sedikit pendek dari biasanya. Namun
dia tetap terlihat cantik bagi siapa saja yang memandangnya. Setelah
menatap Alifa yang hanya bisa memejamkan matanya, aku mulai bertanya
pada ibu paruh baya yang tak lain adalah ibunda Alifa. Dia bernama Bu
Ratih. ”Sejak kapan Alifa masuk rumah sakit Bu?” Tanyaku sambil terus
berdiri di samping Alifa. ”Sejak keadaannya semakin parah Nak.
Ya…sekitar dua minggu yang lalu. Awal masuk kesini sih masih bisa makan,
minum, shalat, bicara juga masih bisa sedikit-sedikit. Tapi makin
kesini, kondisinya semakin….” Bu Ratih memutuskan kata-katanya. Air mata
yang berusaha ditahannya kini tak dapat lagi terbendung. Aku langsung
mengeluarkan tisu dan kuberikan padanya sambil mengelus-elus bahunya.
”Sabar ya Bu?” Ucapku padanya. Bu Ratih hanya mengangguk sambil
menghapus air matanya. Tanpa terasa kedua mataku basah. Sejurus kemudian
timbul perasaan yang tiba-tiba saja menyusup ke dalam sukmaku. Aku
begitu sedih melihat Alifa terbaring koma. Sesaat lamanya aku berada
disana, tiba-tiba ada seorang dokter cantik yang datang untuk
memeriksakan keadaan Alifa. Dia bernama dokter Melisa. Dokter itu
bersama dua orang perawatnya. Yang satu mengenakan kerudung dan yang
satu lagi tidak. Suster yang mengenakan kerudung memeriksa denyut nadi
Alifa lalu menuliskan sesuatu pada kertas yang dibawanya. Sedangkan
suster yang satu lagi hanya berdiri sambil membawa beberapa obat-obatan
di meja dorongnya. Dokter Melisa memeriksa mata Alifa dengan senter
kecil. Dan sesekali dia mengecek selang infus yang yang menghubungkan
cairan infus ke tubuh Alifa. Cairannya sudah hampir habis dan dia
menyuruh suster yang tidak mengenakan kerudung untuk mengganti cairan
infus yang sudah habis dengan cairan infus yang baru. Setelah memeriksa
keadaan Alifa, dokter Melisa berbincang sedikit dengan Bu Ratih.
”Bagaimana dok keadaanya? Apa ada kemajuan?” Tanya Bu Ratih penuh harap.
Dokter cantik itu menggeleng. ”Belum ada perubahan apa-apa. Bahkan
keadaannya semakin menurun kalau tidak secepatnya dilakukan tindakan”
Jawab dokter itu tenang. ”Tindakan apa dok?” Tanyaku menimpali.
”Tindakan untuk mencarikan seseorang yang mau berpura-pura menjadi
suaminya. Saat ini dia memerlukan belaian lembut dan kasih sayang dari
seorang suami. Maklumlah, Ibu Alifa ini baru seminggu menikah bukan?
Masa-masa itu adalah masa-masa dimana pasangan pengantin baru sedang
mesra-mesranya. Makanya wajar jika dia stres kemudian sakit seperti ini.
Selain kondisi fisiknya yang lemah, batinnya juga sangat terguncang
tatkala dia harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya yang baru
seminggu dinikahinya harus pergi dengan kondisi yang sangat tragis”
Jelas dokter Melisa sangat detail. Aku mendengarkannya dengan seksama.
”Lalu bagaimana dengan kandungannya dok?” Tanya Bu Ratih yang tiba-tiba
saja mengejutkanku. ”Kandungan? Jadi…saat ini Alifa sedang hamil?” ”Iya”
Sahut dokter melisa. ”Usia kandungannya baru dua bulan. Alhamdulillah
janin yang ada dalam kandungannya tidak mengalami penurunan. Tapi kalau
dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia
kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau
berpura-pura atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan
menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami
pertamanya yang meninggal. Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali
kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak
pertama pernikahannya” Jelas Dokter Melisa kembali. Aku hanya terdiam
tak berbicara apa-apa. Aku dan Bu Ratih mengucapkan terima kasih tatkala
dokter Melisa dan dua perawatnya pergi meninggalkan kami. Aku teringat
ucapan dokter Melisa barusan, ”Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini,
saya tidak bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama.
Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau mungkin ada seorang
laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya
menggantikan suami pertamanya yang meninggal” Aku juga teringat
perkataan dokter Melisa yang terus terngiang dalam ingatanku. ”Sehingga
Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang
memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya” Alifa memang
seharusnya mendapatkan kasih sayang itu, tapi Allah telah mengambil
suaminya dari sisinya. Sedangkan aku? Nasibku sungguh kontras sekali
dengan kehidupan Alifa. Sudah hampir setahun aku menikah namun sampai
detik ini aku belum juga mendapatkan kasih sayang itu. Kasih sayang yang
memang seharusnya aku dapatkan dari seorang suami. Bu Ratih
mengejutkanku dengan tegurannya. ”Nak Dinda” ”Eh…Ya Bu?” Sahutku.
”Kenapa melamun?” Aku menggeleng. ”Tidak Bu. Ehm..kalau begitu saya
pamit pulang dulu ya Bu? Saya do’akan semoga Alifa bisa secepatnya
melalui ujian ini dan semoga Alifa bisa lekas sembuh” ”Terima kasih ya
Nak?’ Ucap Bu Ratih. Aku mengangguk sambil tersenyum padanya. Sebelum
pulang aku sempatkan menyentuh tangan Alifa yang kurus dan pucat itu.
Dalam hati aku berucap padanya, ”Aku akan membantumu, Alifa. Insya
Allah” Setelah berucap sedikit pada Alifa, aku segera pulang dengan
terlebih dahulu berpamitan pada Bu Ratih.
”Yang tabah ya Bu? Saya yakin, Allah pasti akan memberikan jalan
keluar atas semua ujian ini. Dan saya pun akan membantu Alifa sebisa
saya mampu. Insya Allah. Assalamu’alaikum” ”Wa’alaikumusslam. Terima
kasih ya Nak Dinda?” Aku tersenyum padanya kemudian keluar menuju lift.
Setelah keluar dari rumah sakit, di dalam angkot merah yang aku
tumpangi, tiba-tiba aku mempunyai sebuah rencana yang mungkin bisa
membuat Alifa tersadar dari komanya. Sebuah rencana yang akan aku
jalankan untuk membantu Alifa dan bayi yang tengah dikandungnya. * * *
Setelah sampai dirumah, tak kutemukan Mas Yusuf di setiap sudut rumah.
Mungkin dia masih mengajar di sekolah. Aku beristirahat sejenak kemudian
mandi dan shalat maghrib. Selesai itu aku sedikit tilawah sebentar
sebelum tiba-tiba saja rasa cemas itu menyusup ke dalam dada. Kemana Mas
Yusuf sampai petang begini belum pulang? Tak biasanya dia pulang
mengajar sampai malam seperti ini. Tak memberi kabar atau pun sms.
Kusudahi tilawahku yang baru beberapa lembar. Kuraih ponselku yang
tergeletak diatas tempat tidur lalu kuhubungi Mas Yusuf. Tak ada nada
sambung dari ponselnya. Kemana dia? Sekali lagi aku hubungi dia dan yang
menjawab hanya suara operator telepon seluler. ”Maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi atau tinggalkan pesan setelah nada berikut….” Aku
coba berkali-kali tetap tidak bisa. Kuputuskan untuk mengiriminya sms.
Semoga saja ketika ponselnya sudah aktif, dia segera membaca pesanku dan
langsung membalasnya. Sungguh, malam ini aku tak bisa tidur dengan
tenang. Awalnya aku ingin menanyakan keberadaan Mas Yusuf pada mertuaku,
tapi kuurungkan. Aku tak ingin mereka cemas lalu memikirkan hal ini.
Aku juga tidak mempunyai nomor telepon teman-temannya kecuali Mas
Bambang. Ya, aku akan coba menghubungi Mas Bambang dan kutanyakan
keberadaan Mas Yusuf padanya. ”Halo…” Ucap Mas Bambang dari sebrang
sana. Aku menjawabnya dan segera saja aku bertanya padanya perihal Mas
Yusuf. Tapi lagi-lagi aku harus memendam harapku. Mas Bambang sendiri
tidak tahu dimana Mas Yusuf sekarang. Yang dia tahu sepulang dari
mengajar pukul dua siang, dan Mas Yusuf langsung pulang dengan
tergesa-gesa. Setelah mengucapkan terima kasih pada Mas Bambang, aku
segera menutup teleponnya. Yang menjadi pikiranku, mengapa Mas Yusuf
pulang dengan tergesa-gesa? Apakah jangan-jangan, dia sudah mengetahui
kondisi Alifa sekarang dan dia pergi menjengknya? Ah! Aku tak mau
memikirkan hal itu. Biarlah waktu saja yang menunjukkan segalanya. Dan
saat ini, sebaiknya aku ingin tidur dan mengistirahatkan tubuh ini yang
sudah seharian beraktivitas.
* * *
Pukul satu malam aku terbangun. Ada kehausan yang teramat sangat
ketika aku merasakan sadar dari tidurku. Aku beranjak dari tempat
tidurku menuju ke dapur. Setelah minum untuk menghilangkan dahagaku, aku
kembali ke kamar. Duduk di tepi tempat tidur sambil termenung
sendirian. Aku masih memikirkan dimana Mas Yusuf malam ini. Aku takut
terjadi apa-apa padanya. Sambil menatap photo pernikahanku yang dipajang
di meja kecil disamping tempat tidurku, tiba-tiba aku menangis. Entah
apa yang membuatku menangis. Aku ingin shalat tahajud. Setelah mengambil
air wudhu aku langsung melaksanakan shalat tahajud dan bermunajat
padaNya untuk keselamatan Mas Yusuf dimana pun dia berada. Lalu aku
lanjutkan dengan tilawah Al-Qur’an beberapa lembar. Setelah itu aku
menutupnya dengan shalat witir tiga rakaat. Kulepas mukenaku dan ku
ganti dengan jilbab hitam. Aku berdiri di depan jendela kamarku sambil
membuka sedikit gorden yang menutupinya. Di luar gelap. Jalanan hanya di
terangi dengan beberapa lampu neon yang tersambung oleh rumah warga. Ku
putar kembali ingatanku satu tahun yang lalu. Ingatanku ketika keluarga
Mas Yusuf datang kerumah untuk melamarku, lalu surat dari Mas Yusuf
yang kukira surat cinta ternyata surat yang amat menyakitkanku, dan
berbagai sikap-sikap Mas Yusuf yang sampai sekarang tidak bisa aku
mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku sebagai seorang istri. Semua
ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan akhirnya aku menangis. Aku
melangkah ke meja kerjaku. Sambil mendudukan tubuhku di kursinya,
kuambil kembali buku harianku. Tiba-tiba aku melihat sebuah tape
recorder yang sudah sejak lama kutaruh di laci. Didalamnya terdapat
sebuah kaset kosong yang aku ingat, kaset itu pernah aku gunakan untuk
mewawancarai seorang narasumber untuk keperluan majalah di tempatku
bekerja. Kuurungkan niatku untuk menulis di buku harian dan aku putuskan
untuk merekam suaraku di tape recorder itu. Akan kukeluarkan seluruh
perasaanku selama ini tentang hatiku, tentang Mas Yusuf, dan tentang
Alifa. Tape recorder aku nyalakan dan aku mulai bercerita. “Tuhanku,
Hanya Engkau sajalah yang mengetahui isi hatiku. Hanya Engkau sajalah
yang menjaga hati dan perasaanku sehingga aku bisa kuat dan tegar sampai
saat ini. Tuhanku,Aku sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya
mencintai dan dicintai. Hatiku telah membeku. Satu tahun sudah aku hidup
sebagai seorang istri. Hidup tanpa kasih sayang dan perhatian dari
seorang suami yang aku kasihi. Hidup penuh kegamangan dan kepasrahan
dalam menanti cintanya untukku.Rabbi, Sungguh aku sangat mencintainya.
Sungguh aku sangat menyayanginya. Tapi kenapa sampai saat ini tak
sedikit pun rasa cinta itu ia berikan padaku? Apakah ada yang kurang
dalam pengabdianku padanya selama ini? Apakah ada yang tak diinginkannya
dariku sebagai seorang istri? Sudah cukup sabar rasanya aku menahan
semua ini. Menahan rasa cinta yang tak kunjung terbalas olehnya. Katakan
padaku Ya Allah, kapan sekiranya dia mau membukakan pintu hatinya
untukku? Malam ini aku sendiri. Dan lagi-lagi aku harus mengeluarkan air
mataku untuknya yang sekarang entah berada dimana. Aku lelah Ya Allah.
Bahkan untuk tetap mencintainya saja, kurasa aku sudah tak sanggup lagi.
Tapi tak sedikit pun aku berniat menghilangkan dia dari ingatanku.
Biarlah aku menanggung derita ini diatas rasa cinta yang kuusahakan
untuk tetap bertahan.Ya Allah,Aku sudah memaafkan segala sikapnya selama
ini padaku. Tapi aku mohon, janganlah Engkau mencatat segala
perbuatannya itu sebagai sebuah kezhaliman. Sungguh, aku sudah
memaafkannya dan aku ikhlas dengan semua keadaan ini. Aku hanya ingin
Kau menempatkan dia di tempat yang layak di sisiMu. Aku mohon.Ya Allah,
Selama aku menjadi istrinya, mungkin banyak kekurangan yang hadir pada
diriku yang tidak ia sukai. Aku mohon, bantulah aku memperbaiki
semuanya. Bantulah aku membahagiakan dirinya, meskipun hal itu amat
sangat menyakitkan untukku. Sekiranya Engkau mengizinkan, biarkanlah aku
berbagi cinta pada yang lain. Biarkanlah aku berbagi hidup pada hambaMu
yang lain, yang namanya sudah sejak lama bertahta di kedalaman relung
hatinya. Tegarkanlah hatiku ketika aku harus menyaksikan waktu membawa
suamiku pergi pada bunga yang lain. Kuatkanlah imanku ketika aku harus
berbagi suami pada yang lain, pada Alifa. Aku hanya berharap satu pahala
dariMu. Karena aku tahu, Alifa membutuhkan seorang suami dan bayi yang
ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Jika sosok itu adalah
suamiku, maka dengan segenap hati dan jiwa, aku bersedia.”Seusai
merekam suaraku dalam tape recorder sambil terisak, kusimpan kaset
rekaman dan tape recordernya di dalam laci mejaku. Kuseka air mataku dan
aku kembali tidur dengan perasaan yang masih gundah memikirkan Mas
Yusuf.
* * *
Pagi hari ketika jam sudah menunjukkan pukul 06.00, pintu rumah ada
yang membuka. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung
melangkah ke ruang tamu. ”Dari mana Mas?” Tanyaku pada seseorang yang
ternyata adalah Mas Yusuf. Dia hanya diam sambil membuka kaos kakinya di
kursi. Tanpa menjawab pertanyaanku dia malah berjalan ke kamar. Aku
mengikutinya. ”Mas, kamu dari mana aku tanya?” ”Sudahlah!” Bentak Mas
Yusuf mengejutkanku. ”Kamu selalu mau tahu saja urusanku” Aku
benar-benar kaget mendengar bentakan Mas Yusuf yang bagai anak panah
menikam jantungku. Aku masih terdiam sementara Mas Yusuf kembali
bersuara. ”Yang pasti aku tidak berselingkuh karena hal itu tidak
mungkin aku lakukan” ”Ya aku tahu hal itu” Sahutku berusaha untuk
tenang. ”Lagipula tak pernah sedikit pun aku berpikir kalau kamu
selingkuh. Kita sama-sama orang yang beriman.Aku hanya ingin tahu dari
mana saja kamu semalam sampai tidak pulang? Tidak kasih kabar
atau pun sms. Aku telepon hand phone mu tidak aktif. Akhirnya aku kirim
sms. Apa telah kau baca?” Lagi-lagi dia hanya diam sambil menganggukkan
kepalanya. ”Lalu kenapa tidak kau balas untuk memberitahukan dimana kamu
berada? Sungguh aku khawatir dengan keadaanmu. Ingat Mas, walau pun
kamu tidak mencintaiku, tapi biar gimana pun aku ini istri kamu. Jadi
wajar jika kamu tidak pulang semalaman tanpa kabar, akan ada seorang
wanita yang membasahi bantalnya dengan air mata dan itu adalah aku.
Katakan Mas, dari mana kamu semalam dan kenapa tidak membalas sms ku?”
Mas Yusuf terdiam sesaat lalu menjawab dengan ragu-ragu. ”Aku…aku habis
dari rumah Bule Rinta…” ”Bule Rinta?!” Putusku dengan penuh tanya. ”Ada
apa dengan Bule Rinta?” ”Kemarin, dirumahnya ada acara….selametan
anaknya yang mau di khitan..” Jawab Mas Yusuf tenang. ”Selametan?
Dirumah Bule Rinta ada selametan?” Mas Yusuf mengangguk pelan sambil
mengganti pakaiannya. ”Kenapa kamu tidak memberi tahu aku kalau dirumah
Bule Rinta ada selametan? Kalau aku tahu kan aku bisa datang. Kenapa
kamu tidak memberi tahu aku Mas? Kenapa kamu pergi sendiri?” ”Ya…ya,
karena acara kemarin baru hanya selametan. Nanti kalau acara khitanannya
akan dilaksanakan baru aku kasih tahu” Jawab Mas Yusuf seolah tak
bersalah. ”Kamu terlalu Mas” Ucapku sambil menahan tangisku di
tenggorokan. ”Kamu anggap apa aku? Apa kata keluarga kamu ketika mereka
melihat kamu datang sendiri? Apa kamu juga ingin membuat mereka jadi
membenci aku? Ingat Mas, mereka tahunya kita saling mencintai. Dan kamu
juga harus ingat, aku ini istri kamu. Wanita yang sudah sah kamu nikahi
setahun yang lalu. Aku harap kamu tidak melupakan hal itu. ”Tolonglah
Mas. Untuk urusan keluargamu janganlah tertutup padaku. Setahun Mas,
sudah setahun kita menikah. Tapi sejujurnya, aku tidak pernah merasakan
bahagianya menjadi seorang istri. Katakan padaku Mas, apakah ini
kesalahanku jika kau tidak mencintaiku? Apakah ini kesalahanku jika kau
menikahiku? Dimana letak kesalahanku sehingga kau tega menghukumku
seberat ini? Dimana Mas?” Tak terasa air mataku jatuh menetes. Aku tak
kuat lagi menahan air mata ini. Aku menunduk sementara Mas Yusuf hanya
diam di tempatnya berdiri kini. ”Mungkin sudah saatnya aku mengatakan
hal ini” Ucapku dengan penuh ketegasan. Ku seka air mataku. Mas Yusuf
terlihat penasaran. ”Di dalam biduk rumah tangga kita memang tidak
pernah ada cinta yang menghiasi. Tapi aku berharap tidak pernah ada pula
kata perceraian di antara kita. Karena Allah sangat membenci hal itu.
Tapi kalau hal ini dibiarkan, aku tahu hatimu akan sakit selamanya. Jadi
aku mempunyai saran untukmu agar kau bisa hidup bahagia tanpa harus
menceraikan aku karena aku tidak ingin kau menceraikanku…..” ”Apa
maksudmu?” Tanya Mas Yusuf penasaran. Aku terdiam sejenak sambil
menghela nafasku. Kutatap kedua matanya. ”Nikahi Alifa……” ”Apa?! Apa
maksud perkataanmu?” Tanya Mas Yusuf menghampiriku.
”Nikahi Alifa karena kini dia sudah menjadi seorang janda…” Ucapku
menegaskan. ”Janda?! Alifa sudah menjadi janda?” ”Ya. Sudah tiga bulan
Alifa menjadi seorang janda. Seminggu setelah pernikahannya suaminya
meninggal akibat kecelakaan kereta api. Sekarang kondisi Alifa menurun
dan kini dia dirawat dirumah sakit” ”Menurun?” ”Ya. Kondisi itu
disebabkan karena dia tidak bisa menahan stres dan tekanan batin atas
kepergian suaminya. Dan satu-satunya jalan agar dapat menolong Alifa
dari koma, adalah mencarikan seorang suami untuknya yang dapat
menggantikan kasih sayang suaminya yang seharusnya ia dapatkan sejak
pertama ia menikah” ”A, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan…”
”Alifa butuh kamu untuk dapat mengembalikan semangat hidupnya. Dan bayi
yang ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Waktunya tidak banyak
lagi. Kalau terlambat, maka dokter pun tidak bisa menjamin kalau Alifa
bisa selamat dan bayi dalam kandungannya juga akan bertahan lama” Mas
Yusuf terlihat cemas sekali. Mungkin dia tidak mengira kalau Alifa akan
bernasib seperti ini. Dia tak bisa berkata apa-apa. ”Aku mohon Mas.
Terimalah tawaranku ini. Jika kau melakukan hal ini, maka akan banyak
jiwa yang kamu tolong. Kau menolong Alifa dari status jandanya, kau
menolong bayi yang ada dalam kandungannya dari status yatim, kau
menolong hatimu dari kekosongan cinta akan seorang istri, dan kau pun
menolongku untuk membahagiakan suamiku, kamu. Aku mohon” Ucapku dengan
penuh harap padanya. Mas Yusuf melangkahkan kakinya keluar kamar. Entah
apa yang dipikirkannya saat ini. Dia duduk di ruang tamu sambil
termenung. Raut wajahnya tampak cemas dan bingung. Tiba-tiba dia bangkit
dari duduknya. ”Tapi tidak semudah itu untuk berpoligami. Lagi pula
tidak pernah terpikir sedikit pun dalam benakku kalau aku ingin menikah
lagi. Hanya kamu istriku dan satu-satunya istriku…” ”Istri yang tidak
pernah diperlakukan seperti seorang istri? Istri yang tidak pernah
merasa bahwa dirinya itu seorang istri?” Mas Yusuf terdiam menatapku.
Kulangkahkan kakiku menghampirinya. ”Aku hanya ingin kamu bahagia. Kamu
memang tidak bisa menemukan kebahagiaan itu denganku, tapi kamu masih
punya kesempatan untuk bisa hidup bahagia dengan Alifa. Selain itu kamu
juga bisa memberikan kebahagiaan pada Alifa dan bayi yang dikandungnya.
Kamu mengerti kan Mas?” Aku rasakan mataku basah. Setetes bening
tiba-tiba saja mengaliri pipiku. ”Aku harap kamu bisa mempertimbangkan
saranku. Ini demi kebaikan kita semua. Aku yakin jika orang tua kita
mengetahui hal ini, mereka pasti akan mengerti. Sepulang kerja nanti,
aku tunggu jawabanmu” Setelah itu aku masuk ke dalam kamar sambil
mengunci pintunya. Aku tak kuat menahan sesak ini. Di balik pintu aku
menangis. Aku begitu sedih. Semua perasaan bercampur menjadi satu.
”Rabbi….kuatkan aku…….” * * *
Tiga Belas Waktu berjalan begitu cepat rasanya. Aku
masih ingat betul seperti apa raut wajah Mas Yusuf ketika dia mengetahui
keadaan Alifa saat ini. Dari kantor aku langsung pergi kerumah sakit
untuk menjenguk Alifa. Kondisinya tidak begitu baik dari waktu aku
menjenguknya pertama kali. Tak lama aku disana. Namun kali ini aku
bertemu dengan mertua Alifa dan beberapa anggota keluarganya. Satu
informasi lagi, sampai sekarang belum ada seorang laki-laki pun yang mau
menikahi Alifa. Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap dalam hati,
kalau saja mereka tahu siapa yang nantinya hendak menikahi Alifa.
Setelah dari rumah sakit aku langsung pulang kerumah. Jujur, aku sudah
tidak sabar mendengar jawaban Mas Yusuf. Tapi sampai maghrib menjelang,
Mas Yusuf belum juga pulang. Aku coba menghubunginya lewat hand phone
tapi tidak aktif. Mungkin dia pergi lagi kerumah Bule Rinta, atau
mungkin, dia pergi menjenguk Alifa di rumah sakit? Entahlah, aku sudah
mulai cemas. Tiba-tiba hand phone-ku berdering. Kulihat satu nomor yang
tidak kukenal. Kuangkat. ”Assalamu’alaikum” ”Wa’alaikumussalam. Apa
benar ini Ibu Dinda?” Suara seorang laki-laki tak kukenal menjawab
salamku. ”Iya benar, saya Dinda. Maaf ini siapa ya?” ”Saya Pak Azril,
petugas kepolisian” ”Petugas kepolisian?” ”Iya. Saya ingin
memberitahukan bahwa suami ibu yang bernama Yusuf saat ini ada di rumah
sakit…” ”Di rumah sakit? A, ada apa dengannya Pak?” Tanyaku dengan
panik. ”Tadi siang suami ibu kecelakaan. Motor yang dikendarainya
menabrak pembatas jalan dan akhirnya dia terpental sejauh lima belas
meter dari lokasi kejadian. Kondisinya saat ini sangat kritis dan dia
belum sadarkan diri” Suara petugas kepolisian itu bagaikan sebuah petir
yang menyambar tubuhku. Aku bingung harus berbuat apa. Setelah polisi
itu memberitahukan dimana Mas Yusuf dirawat sekarang, aku langsung
bergegas pergi kesana. Tiba-tiba aku teringat. Mas Yusuf dirawat di
rumah sakit yang sama dengan rumah sakit dimana Alifa dirawat. Apa
mungkin Mas Yusuf berniat menjenguk Alifa disana dan akhirnya dia
kecelakaan di tempat yang tak jauh dari rumah sakit? Belum sempat aku
menemukan jawaban itu, aku langsung pergi ke Pasar Rebo untuk mengetahui
kondisi Mas Yusuf sekarang. Di dalam taxi aku tak bisa berhenti
menangis. Mungkin supir taxi yang membawaku ke rumah sakit melihatku
dengan heraan, kenapa dari tadi aku menangis? Diapun tak berani
menanyakan perihal itu padaku. Setelah aku membayar ongkos taxinya aku
langsung berlari ke ruang UGD18 untuk mencari suamiku, Mas Yusuf.
Kupandangi semua pasien yang ada di ruang itu, dan…ada. Di pojok ruangan
aku melihat Mas Yusuf tengah terbaring tak berdaya bersama dua orang
polisi yang kini menemaninya. Segera saja aku menghampirinya. ”Permisi
Pak. Saya Dinda, istrinya Yusuf” Ucapku pada dua orang polisi itu. 18
Unit Gawat Darurat
”Oh, anda yang bernama Dinda. Silahkan, ini suamimu” Sahut seorang
polisi yang mengenakan jaket tebal dan berkumis. Aku mengangguk pelan
dan segera mengalihkan pandanganku pada Mas Yusuf. Di keningnya terdapat
perban yang membalut lukanya. Di tangan kanannya pun terdapat sebuah
jarum yang ditusukkan untuk mengaliri cairan infus kedalam tubuhnya.
Wajahnya penuh luka memar. Mungkin saat kecelakaan, wajahnya terhantam
benda keras. ”Bagaimana keadannya Pak?” Tanyaku pada salah satu polisi
itu. ”Coba Mbak tanyakan saja keadaan suami Mbak pada dokter atau suster
yang ada disana” Jawab polisi itu sambil menunjuk kearah seorang dokter
dan dua orang perawatnya. Aku mengangguk dan menghampiri dokter itu.
Setelah dokter itu memberitahukan kondisi Mas Yusuf sekarang, aku
langsung disuruh mengurus administrasi agar Mas Yusuf bisa segera
dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku menurut saja. Karena aku tidak
membawa uang banyak di tas, aku mengambil tabunganku di ATM. Setelah
urusan administrasi selesai, Mas Yusuf segera dipindahkan ke ruang rawat
inap kelas satu. Aku hanya ingin Mas Yusuf mendapat perawatan yang
benar-benar intensif agar dia bisa cepat sembuh. Air mataku tidak bisa
berhenti sampai Mas Yusuf di pindahkan ke ruang rawat inap. Aku teringat
Alifa. Sebelumnya aku sempat bertanya pada polisi yang tadi menemani
Mas Yusuf, dimana lokasi kecelakaan itu. Dan polisi itu mengatakan bahwa
lokasi kejadian itu tak jauh dari Rumah Sakit Pasar Rebo. Maka dari itu
Mas Yusuf dibawa kesini. Aku sempat mengaitkan kejadian itu dengan
keadaan Alifa saat ini. Mungkin saja Mas Yusuf telat pulang kerumah
karena hendak menjenguk Alifa. Aku pun menyempatkan diri menjenguk Alifa
yang berada satu lantai dibawah lantai Mas Yusuf dirawat kini.
Kondisinya masih belum menunjukkan perubahan. Sampai sekarang belum ada
satu orang pun yang mau menikahinya. Kalau saja orang tua Alifa tahu
siapa yang sebenarnya hendak menikahi putrinya itu, mereka pasti akan
terkejut. Tapi sayang, kondisi Mas Yusuf pun tak jauh berbeda dengan
kondisi Alifa saat ini. Aku kembali lagi ke kamar Mas Yusuf. Aku duduk
disampingnya sambil memandangi wajahnya yang pucat. Tanpa terasa air
mataku jatuh menetes. Di sela-sela waktu itu aku teringat, aku belum
shalat Isya. Kuputuskan untuk mencari masjid terdekat. Setelah shalat
Isya, aku berdiam diri sejenak di masjid. Merenungi segala kejadian yang
baru saja aku alami. Tiba-tiba aku teringat, aku belum memberi kabar
pada orang tua dan mertuaku. Kupencet nomor telepon orang tuaku dan
kuberitahukan keadaan Mas Yusuf saat ini. Mereka benar-benar tidak
menyangka akan hal ini dan mereka berniat menjenguk Mas Yusuf malam ini
juga. Tapi aku bilang bahwa mereka tidak usah menjenguk Mas Yusuf
sekarang karena hari juga sudah larut. Mereka memahami. Setelah
menghubungi orang tuaku, aku langsung menghubungi mertuaku. Mereka tidak
bisa menahan tangis haru saat aku beri tahu bahwa Mas Yusuf kecelakaan.
Sama seperti orang tuaku, mereka ingin menjenguk Mas Yusuf sekarang
tapi aku juga melarang mereka dengan alasan hari sudah semakin malam.
Tapi ibu mertuaku bersi keras dan ingin tetap menjenguk Mas Yusuf malam
ini juga. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun hanya bisa menangis
saat ibu mertuaku menyuruhku untuk tabah. Malam ini adalah malam yang
sangat menyedihkan untukku. Kuputuskan untuk kembali ke kamar dan
menemani Mas Yusuf disana. Aku ingin memberikan seluruh kasih sayangku
padanya sampai dia tahu kalau aku benar-benar mencintainya.
* * *
Hari-hari aku lalui dengan kesabaran dan keikhlasan. Sudah dua hari
Mas Yusuf dirawat dan sampai sekarang dia belum sadarkan diri. Dokter
bilang ini disebabkan oleh reaksi obat yang masuk kedalam tubuhnya.
Mungkin beberapa jam lagi dia akan sadar kembali. Tapi aku tidak bisa
menahan rasa cemasku padanya. Di setiap shalatku, selalu aku menyebut
namanya di akhir do’aku agar Allah berkenan menyembuhkannya. Aku tak
kuasa menahan air mataku kala aku menatap wajahnya. Sudah dua hari ini
aku menemani Mas Yusuf. Aku sudah meminta izin cuti pada pihak kantor.
Alhamdulullah mereka mengizinkan. Semalam dari pihak penerbit yang
hendak menerbitkan novelku juga kembali menghubungi karena aku lupa
memberikan prakata ucapan terima kasih pada mereka. Aku sampaikan
alasanku kenapa aku sampai lupa. Alhamdulullah juga mereka mengerti dan
berencana mengundurkan proses penerbitan novelku. Selama aku menemani
Mas Yusuf, aku selalu menyempatkan diri menjenguk Alifa juga dikamarnya.
Masih tak ada perubahan. Terakhir aku menemuinya, aku diberi tahu oleh
pihak keluarganya bahwa ada seorang laki-laki yang datang menjenguk
Alifa membawa serta kedua orang tuanya. Laki-laki yang datang itu hendak
meminang Alifa sebagai istrinya. Dia bersedia membantu Alifa
mempertahankan hidupnya. Tapi ketika kutanya siapa laki-laki itu, pihak
keluarga Alifa tidak bisa memberi tahu siapa dia. Semua itu mereka
lakukan atas permintaan laki-laki itu. Aku pun tidak bisa berbuat
apa-apa. Aku kembali ke kamar. Tak terasa matahari sudah menyembunyikan
dirinya di peraduannya. Tadi siang ayah dan ibu mertuaku datang
menjenguk Mas Yusuf. Selepas Ashar, mereka pulang. Dan tinggal aku
sendiri di dalam kamar menemani Mas Yusuf yang belum juga sadar sampai
detik ini. Selama dia tak sadarkan diri, aku yang membasuh tubuhnya
dengan handuk kecil basah. Aku tak kuasa melihat tubuhnya yang penuh
luka akibat kecelakaan itu. Dokter bilang memang tidak ada yang serius
tapi aku sebagai istrinya benar-benar khawatir akan keadaannya saat ini.
Dari luar, terdengar azan Maghrib berkumandang. Aku lansung bergegas
mengambil air wudhu dan langsung menunaikan shalat Maghrib di samping
tempat tidur Mas Yusuf. Selesai shalat, aku bermunajat pada Tuhan
semesta alam. Ku adukan semua gundah gulanaku saat ini. Sambil ditemani
air mata yang terus mengalir dari ujung mataku, aku berdo’a untuk
kesembuhan Mas Yusuf. Dan tak lupa juga kebaikan atas pernikahanku. Aku
mengharapkan yang terbaik dari keputusan yang nantinya akan Mas Yusuf
berikan padaku. Apakah dia bersedia menikahi Alifa atau tidak. Aku juga
masih memikirkan siapa laki-laki yang datang dan hendak meminang Alifa
itu. Aku sudah merelakan sepenuhnya hatiku pada Rabb penggenggam hati
seluruh makhluk di dunia ini, Allah Swt. Aku benar-benar ikhlas kalau
nantinya Mas Yusuf sadar dan dia memutuskan untuk berkenan menikahi
Alifa. Semuanya aku ucapkan dengan penuh pengharapan bahwa Allah
berkenen memberikan yang terbaik untukku, Mas Yusuf, dan Alifa. Kusudahi
doa panjangku. Kulanjutkan dengan membaca Al Ma’tsurat dan tilawah
Qur’an beberapa lembar. Selesai itu, kulipat sajadah dan kuletakan di
pinggir kursi. Dengan masih mengenakan mukena, kuhampiri Mas Yusuf
dengan mata yang sedikit memerah akibat menangis. Kuseret kursi yang ada
dan kududukkan tubuhku disana. Kubetulkan selimut yang menutupi
tubuhnya. Sesaat kutatap wajahnya yang begitu putih dan bersih. Perlahan
kuberanikan diri menyentuh tangannya. Kugenggam dengan erat seperti tak
ingin melepasnya. Inilah untuk yang pertama kalinya aku menggenggam
tangan suamiku setelah setahun pernikahan. Kuciumi tangannya sambil
berucap kata-kata mesara untuknya. Sekali lagi aku tak kuasa menahan
tangisku. Tangis yang begitu menyedihkan untukku. Sedih karena Mas Yusuf
belum juga sadar dan sedih karena sampai saat ini, Mas Yusuf belum juga
bisa menerimaku sebagai istrinya. * * * ”Saya terima nikahnya dan
kawinnya, Alifa binti Sukirman dengan mas kawin tersebut. Tunai” Ucap
Mas Yusuf dengan lantang. Semua yang hadir memberikan tepuk tangan yang
meriah. Diantara semua tamu yang hadir, mungkin hanya aku saja yang
merasakan kepedihan dalam dada. Aku menatap Mas Yusuf dan Alifa dengan
perasaan hancur. Setelah akad nikah, Alifa membawa Mas Yusuf pergi
meninggalkan aku sendiri. Aku duduk terdiam tanpa menghalangi mereka
pergi. Mataku menangkap wajah Mas Yusuf tidak memancarkan kebahagiaan.
Sedangkan Alifa, dia amat bahagia membawa Mas Ysuf pergi dari hadapanku.
Aku menangis atas ketidak berdayaanku mencegah Alifa pergi membawa Mas
Yusuf. Tiba-tiba, aku terbangun dari tidurku. Astaghfirullah! Ternyata
semua hanya mimpi. Aku tertidur di tepi tempat tidur. Kuingat kembali
mimpiku barusan. Mimpi tentang pernikahan Mas Yusuf dengan Alifa. Aku
masih belum memikirkan bagaimana jadinya kalau hal itu sampai terjadi.
Tapi yang aku herankan, kenapa dalam mimpi itu, Mas Yusuf terlihat tidak
bahagia? Kembali kupandangi wajah Mas Yusuf. Kuseka air mataku. Sekuat
tenaga aku berusaha untuk tegar. Kuletakkan tangannya di tempat tidur.
Kembali kutatap wajahnya. Sejurus kemudian, aku mendekatkan wajahku ke
wajahnya. Dan….Subhanallah. Aku menciumnya. Aku mencium bibirnya. Dan
ini juga untuk yang pertama kalinya aku menciumnya setelah setahun
pernikahan. Aku mencium bibirnya yang hangat. Ada perasaan bahagia,
senang, cemas, dan takut. Seketika jantungku berdegup kencang. Ingin
rasanya sekali lagi aku menciumnya tapi aku takut. Aku takut kalau dia
sampai tidak ridho dengan apa yang barusan aku lakukan padanya, Allah
pasti akan murka terhadapku. Karena Ridho Allah adalah ridho suami. Bila
suami tidak ridho, maka Allah pun tidak ridho pula.
Tiba-tiba ada perasaan berdosa yang seketika menyusup kedalam hatiku.
Apakah aku berdosa bila menciumnya tanpa seizinnya? Rabbi maafkan aku.
Perlahan kumundurkan kakiku sambil menggeleng. ”Maafkan aku Mas, maafkan
aku” Ucapku pelan. Aku berbalik dan duduk di sofa yang tersedia disana.
Sambil termenung, aku membuka mukenaku dan menggantinya dengan jilbab
coklat. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aku melihat Mas Yusuf
menggerakkan jarinya. Oh Tuhan, apa dia sudah sadar? Aku hampiri dirinya
sambil menggenggam tangannya. ”Mas Yusuf? Mas sudah sadar?” Tanyaku
dengan perasaan senang bercampur cemas. Perlahan kulihat kedua matanya
terbuka sedikit demi sedikit. Dan…Alhamdulillah, dia bangun. Aku berucap
syukur pada Allah Swt karena telah menyadarkan Mas Yusuf. Air mata
begitu saja mengalir dari mataku. Aku melihat Mas Yusuf menggerakan
bibirnya. ”D..Dinda. A, aku ha..us” Ucap Mas Yusuf lirih sambil
terbata-bata. Aku segera mengambilkan air putih yang ada di samping
tempat tidurnya dan membantunya minum melalui sedotan. Setelah minum,
dia menatapku dengan tatapan hampa. Tak ada senyuman atau pun ekspresi
wajah yang lain. Aku takut dia sadar ketika aku menciumnya tadi. Aku
sungguh takut. Tapi sejurus kemudian, aku berpikir untuk memberi tahu
dokter bahwa Mas Yusuf sudah sadar. Aku melangkah keluar untuk memanggil
dokter dan meninggalkan Mas Yusuf di kamar. Namun baru beberapa langkah
aku keluar kamar, tiba-tiba aku melihat semua benda yang ada
dihadapanku seolah berputar. Kurasakan mual yang teramat sangat
diperutku. Seketika kepalaku pusing dan tubuhku lemas. Ketika kupaksakan
diriku untuk terus melangkah, tiba-tiba kurasakan tubuhku melayang dan
terjatuh di lantai. Kulihat semua gelap. Samar-samar kulihat ada
beberapa orang suster berlari mengahmpiriku. Tapi aku sudah tak kuat
lagi bangun. Kurasakan tubuhku diangkat. Makin lama aku tak tahu apa
yang terjadi kemudian.
* * *
Perlahan kubuka mataku yang tadinya sulit untuk kubuka. Namun
kupaksakan karena memang aku ingin bangun dari tidurku. Awalnya gelap,
lalu perlahan cahaya itu mulai masuk dan menembus kornea mataku. Aku
merasakan kehangatan di keningku. Sebuah kecupan hangat tengah mendarat
disana. Yang aku dapati, seorang laki-laki tengah mencium keningku.
Samar-samar aku melihatnya. Setelah aku perhatikan dengan seksama, aku
menyadari ternyata laki-laki itu adalah suamiku. Ya, dia adalah Mas
Yusufku. Oh Tuhan, kekasihku tengah mencium keningku. Apakah ini nyata?
Aku hanya terdiam merasakan kecupan bibir Mas Yusuf di keningku. Lalu
kemudian dia menatap wajahku lekat-lekat. ”kamu sudah sadar?” Tanyanya
lembut. Aku mengangguk pelan. ”Ya” Suaraku terdenganr begitu lirih. Dia
tersenyum. Kulanjutkan perkataanku. ”Kau menciumku?”
Mas Yusuf mengangguk sambil tersenyum. ”Karena kau adalah istriku.”
Jawabnya dengan nada yang sangat menyenangkan hatiku. Tapi aku masih
belum mengerti apa maksudnya. ”Bukankah….” ”Sstt!” Mas Yusuf segera
menempelkan jari telunjuknya ke bibirku. Aku melihat ada yang berbeda
dari kedua matanya. Di dalamnya terpancar sebuah seuatu yang aku tidak
mengerti apa sesuatu itu. Mas Yusuf kembali berucap, ”Sudah dua hari
kamu pingsan dan tidak sadarkan diri. Kamu ingat?” Aku berusaha
mengingatnya kemudian mengangguk. ”Iya aku ingat. Waktu itu aku ingat
kamu sadar dari koma, dan aku langsung memanggil dokter untuk segera
memeriksamu. Namun kemudian, tiba-tiba saja aku merasakan mual di
perutku. Kepalaku pusing dan tubuhku lemas. Seketika aku merasakan
tubuhku melayang dan terjatuh di lantai. Setelah itu aku tidak tahu lagi
apa yang terjadi. Tapi yang pasti aku ingat, aku belum shalat Isya”
Jelasku. ”Ya, kamu pingsan karena terlalu lelah menjagaku setiap hari.
Dokter dan perawatnya segera membawamu untuk diperiksa” Ucap Mas Yusuf
yang wajahnya hampir mendekati wajahku. ”Maafkan aku Mas…” Lirihku.
”Untuk apa?” ”Kemarin saat kamu tidak sadarkan diri, aku…aku sempat
menciummu. Aku harap kau tidak marah padaku. Dan semoga kau ridho atas
perbuatanku itu” Mas Yusuf terdiam menatap wajahku. Aku semakin takut.
Namun tiba-tiba dia tersenyum dan berkata dengan manis padaku. ”Kenapa
aku harus marah padamu?” ”Ja, jadi kamu nggak marah sama aku?”
Tanyaku yang kemudian disusul dengan gelengan kepala dan senyuman Mas
Yusuf. Aku tersenyum senang. Hatiku lega setelah mendapat pengakuan
darinya. ”Aku adalah suamimu dan kau adalah istriku. Tidak perlu merasa
takut atas perbuatanmu. Insya Allah, Allah akan meridhoinya. Justru aku
yang harusnya minta maaf padamu” ”Untuk apa?” Tanyaku pura-pura tidak
mengerti. ”Maaf jika selama ini aku tidak sepenuhnya menjadi suami yang
bertanggung jawab, jika aku sering menyakiti hatimu sehingga sering
membuatmu menangis di tengah malam” Hah!! Aku terkejut. Dari mana Mas
Yusuf tahu kalau aku sering menangis di tengah malam? Aku masih bingung
dengan pernyataan Mas Yusuf sementara dia terus melanjutkan
kata-katanya. ”Maafkan jika selama ini aku selalu membuat kamu terbangub
sebelum fajar untuk makan sahur, karena aku tidak bisa memenuhi
kewajibanku sebagai seorang suami untuk memuaskanmu” Aku semakin
terkejut. Mengapa Mas Yusuf tahu hal itu? Aku tidak pernah menceritakan
hal itu pada siapapun. Tapi, kenapa Mas Yusuf tahu? ”Sekali lagi maaf,
karena aku pernah berbohong padamu…” ”Berbohong apa Mas?” Tanyaku tidak
mengerti. Mas Yusuf coba menjelaskan.
”Tempo hari, sewaktu ada munashoroh Palestine di Monas, aku bilang
padamu kalau aku ada urusan di sekolah sehingga tidak bisa pergi kesana
bersamamu. Aku memang ada urusan, namun setelah itu aku pergi kesana
bersama teman-temanku. Dan aku tahu, kau melihatku disana kan? Tapi
karena kau tidak mau aku melihatmu yang memergoki aku, makanya kamu
segera mengajak temanmu untuk pergi dari sana. Iya kan? Aku benar-benar
minta maaf atas hal itu. Aku sungguh menyesal” Jelas mas Yusuf dengan
nada penuh penyesalan. Aku masih terbaring di atas tempat tidur rumah
sakit dan air mataku mengalir begitu saja bagaikan anak sungai. Aku
lihat Mas Yusuf menunduk sambil menangis. Aku menghapus air matanya
dengan tanganku. Dia meraihnya dan menciumnya. Aku jadi terharu. Lantas,
segera saja aku menanyakan dari mana dia bisa tahu semua hal itu, dan
dia menjawab. ”Buku harianmu. Aku sudah membca semua tulisanmu yang ada
disana. Juga kaset rekaman itu. Aku sudah mendengarnya. Aku mohon segala
maafmu atas kesalahanku selama ini” Pintanya sambil terisak dan terus
menciumi tanganku. Aku pun semakin sedih dan ikut terisak juga. Sesaat
lamanya kami terdiam dalam lautan kesedihan. Akhirnya aku memberanikan
diri untuk bertanya padanya. ”Mas, apa…apa semua itu berarti, kau sudah
bisa menerimaku sebagai istrimu?” Perlahan kutatap kedua mata Mas Yusuf.
Butir-butir cinta itu masih tersisa disana. Aku perhatikan dan dia
mengangguk. Ya Rabbi, kekasihku mencintaiku. Dan itu berarti, cintaku
terbalas. Ini untuk yang pertama kalinya aku merasakan cinta yang
sesungguhnya. Cinta seorang suami kepada istrinya. Aku merasa menjadi
wanita yang paling berbahagia. Aku tersenyum dan Mas Yusuf pun
tersenyum. Bahkan lebih manis dari biasanya. Kupandang lekat-lekat wajah
itu. ”Apa yang akhirnya membuatmu bisa mencintaiku?” ”Karena kau adalah
anugrah terindah yang pernah Allah berikan untukku. Kau jiwaku, kau
nafasku, kau nadiku, dan kau adalah hidupku. Betapa bodohnya aku yang
telah membiarkan kau menderita selama ini. Aku baru menyadari, kalau aku
mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Tidak akan ada yang bisa
menggantikan kamu dalam hatiku. Tidak akan ada” ”Termasuk Alifa?”
Tanyaku dengan tiba-tiba. ”Ya. Termasuk Alifa.” Jawab Mas Yusuf tenang.
”Lalu apa keputusanmu mengenai Alifa? Saat ini dia membutuhkanmu Mas…”
Mas Yusuf terdiam sejenak. ”Sebelum aku menjawabnya, izinkan aku
berterima kasih padamu. Terima kasih atas kesabaranmu selam ini padaku.
Terima kasih karena kau telah mencurahkan seluruh cintamu padaku. Teriam
kasih karena kau tak henti-hentinya menemaniku dan mendo’akanku selama
aku tak sadarkan diri. Dan terima kasih…” ”Sstt!” Sahutku menyela
perkataannya. Kucoba menempelkan jariku di bibirnya. ”Kau sudah terlalu
banyak mengucapkan terima kasih padaku. Hanya dengan rasa cintamu padaku
pun, itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada rasa tidak enak dalam hal
percintaan. Aku benar-benar mencintaimu Mas…” Ucapku pelan. ”Terima
kasih sekali lagi, karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah…”
Ucapnya senang.
Aku terdiam mendengar ucapan Mas Yusuf barusan. Aku tak sanggup
berucap satu katapun. Yang ada malah lelehan air mata yang mengalir di
wajahku lalu menyerap ke jilbab yang aku kenakan sekarang. Aku
benar-benar terkejut mendengarnya. ”Kamu hamil, sayang….” Ucap Mas Yusuf
lagi dengan penuh kemesraan. Air mataku kembali mengalir membasahi
jilbabku dan kini semakin deras. ”Kau tidak membohongiku?” Tanyaku
seolah ingin penegasan. Mas Yusuf menggeleng. ”Aku tidak bohong. Kau
sungguh-sungguh hamil. Saat ini kau tengah mengandung anakku. Anak kita.
Buah cinta kita” Kuberikan senyumanku pada Mas yusuf. Aku hamil. Aku
benar-benar hamil. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu. Oh Tuhan,
terima kasih. Kau telah memberikan kebahagiaan ini padaku. ”Kemarin
kamu pingsan karena terlalu letih. Dan setelah diperiksa oleh dokter,
ternyata kamu tengah mengandung. Usia kandunganmu baru dua bulan. Kamu
harus jaga kesehatan ya?’ Pinta Mas Yusuf padaku. Aku mengangguk dengan
air mata yang terus meleleh. Mas Yusuf menghapusnya dengan sentuhan
hangatnya. Namun tiba-tiba aku tersadar. Kebahagiaanku belum sepenuhnya
menjadi milikku. Masih ada satu yang mengganjal. Tentang Alifa. Kejadian
yang baru saja aku alami memang suatu kebahagiaan yang sangat aku
impikan. Kebahagiaan karena akhirnya Mas Yusuf bisa mnerimaku dan
mencintaiku, dan kebahagiaan karena aku hamil. Tapi biar bagamanapun,
aku harus bertanggung jawab atas permohonanku pada Mas Yusuf yang
memintanya untuk menikahi Alifa. Aku harus siap dengan segala
konsekwensinya. Aku benar-benar ikhlas kalau saat ini Mas Yusuf
menyatakan kesediaannya untuk menikahi Alifa. Aku terdiam dari tangisku
dan mulai bertanya, ”Mas…” ”Hm?…” Kuhela nafasku sesaat. ”Mencintaimu
adalah suatu hal yang sangat membahagiaakan untukku. Apalagi ketika kau
sudah bisa menerimaku sebagai istrimu. Jelas kebahagiaanku semakin
lengkap, apalagi sebentar lagi kita akan menjadi orang tua bagi anak
kita. Tapi aku tidak mau egois. Saat ini, aku ingin mendengar
keputusanmu tentang penawaranku untuk kau menikahi Alifa. Biar
bagaimanapun, dia membutuhkanmu. Dan bayi yang tengah dikandungnya, juga
butuh seorang ayah. Aku harap kau bisa memberikan keputusan yang
terbaik. Aku hanya ingin membagi kebahagiaanku pada Alifa”. Kulihat Mas
Yusuf menundukkan kepalanya. Perlahan dia berdiri dari duduknya. ”Kau
tunggulah disini sebentar. Aku akan keluar untuk memberikan jawaban dan
keputusanku terhadap penawaranmu” Ucap Mas Yusuf pelan lalu pergi keluar
kamar sambil menyisakan rasa penasaran untukku. Apa yang hendak suamiku
lakukan? Sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit, aku menunggu
Mas Yusuf datang dengan membawa jawaban dan keputusannya. Sungguh, saat
ini aku begitu resah.
Tiba-tiba Mas Yusuf datang. Aku menoleh kearahnya. Tak ada yang
berubah darinya. Juga tak ada yang dibawanya. Kuperhatikan wajahnya.
”Apa keputusanmu Mas?” Tanyaku dengan serak menahan tangis. Dia
menghampiriku tanpa menjawab. Dia memandang keluar kamar dengan wajah
berseri-seri. Aku tambah tak mengerti. Akupun ikut memandang keluar
kamar. Masih dalam kondisi berbaring di tempat tidur, perlahan aku
melihat sebuah bayangan datang menghampiri kamarku. Bayangan siapa itu?
Tiba-tiba, aku melihat sosok yang sangat aku kenal muncul dihadapanku
dengan menggunakan kursi roda. Dan orang yang mendorong kursi rodanya
juga adalah orang yang sangat aku kenal. Dia Alifa dan Randi. Alifa
duduk di kursi roda berbalut ghamis coklat dan jilbab hitam, dan yang
mendorongnya adalah Randi. Orang yang kukenal sebagai sahabat Mas Yusuf.
Orang yang dulu kutahu menyuruh Mas Yusuf untuk segera menikahi Alifa.
Orang yang dulu sempat menegurku pada saat acara di Bumiwiyata, Depok.
Kenapa mereka datang bersamaan? ”Alifa?! Randi?! Kalian….” Ucapku
tergagap. ”Ya. Alifa sudah menikah dengan Randi” Sahut Mas Yusuf
mengejutkanku. ”Apa?” ”Ya Dinda. Aku sudah menikah dengan Randi. Dia
telah membantuku untuk tetap hidup. Dia juga sudah membuatku menjadi
seperti ini. Alhamdulillah, Randi sudah berkenan menjadi suamiku” Ucap
Alifa sambil Randi mendorong kursi rodanya mendekatiku. Mas Yusuf dan
Randi pergi keluar kamar meninggalkan aku dan Alifa berdua. Sambil
menggenggam tanganku, Alifa berkata, ”Aku tahu kamu wanita yang sangat
mulia hatinya. Aku sudah dengar semua dari Yusuf. Kamu menyuruhnya untuk
menikahiku bukan? Niat baikmu untuk menjadikanku sebagai istri kedua
Yusuf sangat aku hargai. Jujur, sebenarnya kalau aku tahu yang hendak
menikahiku adalah Yusuf, aku tidak akan menerimanya…” ”Kenapa?” ”Karena
aku tidak mau melihat kamu bersedih. Aku yakin hatimu pasti hancur
ketika Yusuf sampai menikahiku. Untung saja sebelum Yusuf memberikan
keputusannya karena dia mengalami kecelakaan dan koma, Randi datang
dengan sebongkah rasa kasihan dan cintanya untukku. Aku juga tidak
mengerti kenapa aku bisa seperti ini. Kepergian Mas Guntur memang
menyisakan luka yang mendalam untukku. Sampai aku harus dirawat di rumah
sakit dan mengalami koma. Dokter bilang, penyakitku ini disebabkan
karena aku mengalami tekanan batin yang begitu mendalam sehingga harus
ada yang mau menikahiku dan bersedia menjadi suami keduaku. Aku juga
tidak tahu kenapa aku bisa seperti itu. Tapi memang, setelah Randi
menikahiku dan dia mulai membisikkan kata-kata mesranya untukku, seolah
ada setetes embun pagi yang mengaliri tubuhku. Aku mulai bereaksi.
Ketika Randi menyentuh tanganku dan membelaiku, perlahan aku seperti
menemukan kembali semangat hidupku. Memang aku sempat terkejut ketika
kubuka mata, yang kulihat bukanlah Mas Guntur, tapi Randi. Sahabatku
sendiri yang kini telah menjadi suamiku. Awalnya aku sempat drop lagi
tapi dokter segera memberikan obat untukku. Dan akhirnya aku sudah bisa
menerima semua kenyataan ini, kalau Mas Guntur sudah tiada dan yang
menggantikannya adalah Randi. Terima kasih ya? Karena biar bagaimanapun,
kau sudah berniat baik padaku dengan menyuruh Yusuf agar mau menikahiku
dan berkenan menjadi ayah bagi anak yang tengah kukandung ini. Dan
selamat ya? Akhirnya kau juga akan menjadi seorang ibu” Alifa
menjelaskan semuanya dengan tenang. Aku tersenyum padanya. Aku baru
ingat, ternyata laki-laki yang dimaksudkan keluarga Alifa yang hendak
menikahi Alifa adalah Randi. Seseorang yang tanpa sengaja telah
menyelamatkan hati dan cintaku ternyata adalah Randi. Karena dia,
akhirnya aku tidak jadi menjadi istri tua. Terima kasih Randi. ”Kapan
kamu menikah dengannya?” Tanyaku. ”Kemarin. Bahkan Yusuflah yang menjadi
saksi pernikahan kami” Diam-diam ada perasaan syukur yang menyusup
kedalam diriku. Tak berapa lama, Mas Yusuf dan Randi masuk lagi ke
kamar. Aku tersenyum pada mereka dan kuucapkan selamat pada Randi. Kami
pun berbincang bersama di kamar itu. Penuh keceriaan dan tawa yang kami
ciptakan saat itu.
* * *
Empat Belas Setelah dokter mengatakan kondisiku
sudah cukup pulih, akhirnya dia mengizinkanku untuk segera pulang.
Begitu juga Mas Yusuf. Beberapa luka di bagian kepala dan lengannya juga
sudah mulai mengering. Kami melewati hari-hari baru kami sebagai suami
istri. Lebih tepatnya lagi suami istri yang baru menemukan mahligai
cintanya. Aku sangat bersyukur sekali karena kesabaranku dalam mencintai
Mas Yusuf akhirnya menemukan buahnya. Kini aku sudah memetik buah itu.
Cinta itu, kini sudah menemukan peraduannya. Tak henti-hentinya aku
berucap syukur pada Sang Maha Pencipta. Kini, tak ada lagi sorot
kebencian pada mata Mas Yusuf. Kini tak ada lagi sosok seorang suami
pengecut dalam kehidupanku. Yang ada hanyalah seorang pahlawan sejati
yang siap menemaniku kemanapun kakiku melangkah. Terima kasih, Ya Allah.
Malam ini, aku dan Mas Yusuf sudah berada di sebuah beranda di salah
satu kamar hotel yang dulu pernah kami jadikan sebagai tempat malam
pertama kami satu tahun yang lalu. Dengan ditemani sinaran
bintang-bintang, kami memulai kembali kisah cinta kami yang sempat
tertunda karena sebuah keegoisan. Malam ini, kami serasa seperti kembali
menjadi sepasang pengantin baru. Saat Mas Yusuf menatapku penuh mesra,
rasa berdebar-debar itu tiba-tiba muncul dalam diriku. Tapi inilah
cinta. Aku sangat menikmati debar-debar itu. Tatapannya, belaiannya, dan
kecupannya, ini adalah untuk yang pertama kalinya dia melakukannya
dengan penuh keikhlasan hati dan kerelaan jiwa. Malam semakin larut dan
dia mulai mengajakku kembali ke kamar. Entah mengapa, keringat dingin
mulai membasahi tubuhku. Aku ikuti langkahnya. Kini, dia menuntunku
untuk sampai di tempat tidur. Aku tersenyum padanya. Dengan ditemani
temaram lampu kamar dan indahnya sinaran bulan sabit di langit luar
sana, Mas Yusuf kembali membuktikan bahwa dia bukan laki-laki pengecut.
Dia bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Dan itu ia lakukan
tanpa menunggu subuh datang terlebih dahulu. Aku merasakan menjadi
makhluk Tuhan yang paling dikasihi. Ditengah ibadah berdua kami,
tiba-tiba dering hand phone ku berbunyi. Sambil terus melakukan ibadah
itu, kuraih hand phone ku dan kulihat sekilas. Dari pihak penerbit. Aku
tak berniat mengangkatnya dan segera ku matikan dengan me-non
aktifkan-nya. Peluh kami kembali bersatu lagi. Merembas ke dalam seprei
biru yang kini menutupi tempat tidur kami. Inilah kesucian cinta yang
telah tertanam sejak lama yang kurawat dengan air kesabaran. Inilah buah
yang kupetik hasilnya ketika cintaku pada Mas Yusuf harus bersabar.
Kini, lagi-lagi aku harus bersabar untuk menanti datangnya bidadari
kecil yang beberapa bulan lagi akan hadir ke duani ini untuk menemani
kehidupan kami sebagai Abi dan Bunda. Bulan dan bintang memantulkan
sinar gemerlapnya pada diri dua insan yang tengah dimabuk cinta. Semoga
ibadah ini bisa memberikan keberkahan pada kehidupan rumah tanggaku
dengan Mas Yusuf nantinya. Rabb, Terima kasih. Alhamdulillah………….“Untuk
mereka yang menganggap bahwa kecantikan adalah segalanya. Ingat, wanita
yang beriman itu lebih baik, dari wanita yang cantik, namun tak
beriman”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar