Di antara bukti kesempurnaan ajaran Islam adalah berbagai aturan yang
Alloh tetapkan perihal bulu dan rambut yang tumbuh di badan kita.
Ditinjau dari hukum fiqh, rambut dan bulu yang melekat di badan manusia itu bisa dibagi menjadi tiga kategori.
Pertama, rambut yang diperintahkan untuk dipotong semisal rambut ketiak, bulu kemaluan dan kumis untuk laki-laki.
Sayyid Sabiq mengatakan, “Dianjurkan untuk mencukur bulu kemaluan,
mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memangkas kumis setiap pekan
dalam rangka menyempurnakan kebersihan dan menggembirakan jiwa. Adanya
beberapa rambut di badan itu menimbulkan kesempitan dan kesusahan hati.
Namun ada kelonggaran untuk membiarkannya hingga empat puluh hari dan
tidak ada alasan untuk membiarkannya lebih dari empat puluh hari” (Fiqh
Sunnah 1/34, Dar al Fikr).
عَنْ أَنَسٍ قَالَ وَقَّتَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فِى قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الأَظْفَارِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ فِى
كُلِّ أَرْبَعِينَ يَوْماً مَرَّةً
Dari Anas, beliau berkata, “Rasulullah memberi waktu bagi kami untuk
memotong kumis, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan (minimal) sekali
dalam kurun waktu empat puluh hari” (HR Ahmad no 12254, Syeikh Syu’aib
al Arnauth mengatakan, “Hadits shahih namun sanad riwayat ini lemah
karena Shadaqah bin Musa adalah perawi yang lemah”).
Ada yang bertanya kepada Lajnah Daimah sebagai berikut, ketika ayahku
sudah berusia lanjut, beliau tidak lagi mampu mengurusi kebersihan
badannya sendiri. Karenanya akulah yang memotong kumisnya dan mencukur
bulu kemaluannya. Akan tetapi ini menyebabkan aku melihat aurat ayahku
tanpa sengaja maka apakah aku dosa ataukah tidak karena aku mendengar
bahwa barang siapa melihat aurat kedua orang tuanya maka wajib berpuasa
dua bulan? Apakah ini benar?
Syeikh Ibnu Baz, Abdur Razaq Afifi dan Abdullah Ghadayan mengatakan, “Tidaklah masalah bagimu untuk mencukur bulu kemaluan ayahmu selama dia memang tidak mampu untuk menghilangkannya sendiri. Sedangkan hukuman berupa puasa dua bulan yang kau dengar tidaklah benar” (Fatawa Lajnah 5/127, cetakan Dar Balansiah).
Syeikh Ibnu Baz, Abdur Razaq Afifi dan Abdullah Ghadayan mengatakan, “Tidaklah masalah bagimu untuk mencukur bulu kemaluan ayahmu selama dia memang tidak mampu untuk menghilangkannya sendiri. Sedangkan hukuman berupa puasa dua bulan yang kau dengar tidaklah benar” (Fatawa Lajnah 5/127, cetakan Dar Balansiah).
Kedua, rambut yang diharamkan untuk dipotong semisal
lihyah (jenggot) untuk laki-laki dan namsh (mencabut) bulu alis untuk
laki-laki dan perempuan.
Termasuk lihyah yang tidak dihilangkan adalah rambut yang ada di
pipi kanan dan pipi kiri. Syeikh Ibnu Baz dan Abdullah Ghadayan
mengatakan, “Rambut yang ada pada dua pipi itu termasuk lihyah sehingga
tidak boleh dihilangkan bain dengan cara digunting ataupun dengan
dikerok habis mengingat sabda Nabi
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisihilah orang-orang musyrik. Lebatkan jenggot dan pangkaslah kumis” (HR Bukhari no 5553 dan Muslim no 625 dari Ibnu Umar).
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisihilah orang-orang musyrik. Lebatkan jenggot dan pangkaslah kumis” (HR Bukhari no 5553 dan Muslim no 625 dari Ibnu Umar).
Di antara ulama pakar bahasa Arab yang menegaskan bahwa rambut yang
ada pada dua pipi itu termasuk lihyah adalah penulis kitab Lisan al Arab
dan al Qomush al Muhith” (Fatawa Lajnah 5/144).
اللِّحْيَةُ بالكسر : شَعَرُ الخَدَّيْنِ والذَّقَنِ
Penulis al Qomush al Muhith (1/1714, Maktabah Syamilah) berkata, “Lihyah adalah rambut yang ada pada dua pipi dan dagu”.
Akan tetapi perempuan yang memiliki jenggot
diperbolehkan untuk mencabut dan menghilangkannya. Dalam Fiqh Sunnah lin
Nisa’ (hal 414, cetakan al Maktabah al Taufiqiyyah) termaktub, “Jika
seorang perempuan memiliki kumis dan lihyah (jenggot) maka dia boleh
menghilangkannya. Dalam kondisi yang tidak normal, ada perempuan yang
memiliki kumis dan jenggot yang lebat maka pada kondisi ini dianjurkan
untuk menghilangkannya. Hal ini bukan termasuk mengubah ciptaan Alloh
namun dinilai sebagai bentuk mengembalikan kepada bentuk asal penciptaan
Alloh”.
Ketiga, rambut yang tidak terdapat penjelasan khusus tentangnya semisal rambut di tangan dan di kaki.
Rambut yang tidak Alloh jelaskan hukumnya adalah sebuah kemudahan
dari Alloh. Seandainya Alloh tidak menginginkan keberadaan rambut
tersebut niscaya Alloh telah memerintahkan untuk menghilangkannya.
Begitu pula, seandainya Alloh menginginkan keberadaannya tentu terdapat
larangan dari Alloh untuk mencukurnya. Ketika tidak terdapat aturan
khusus dalam hal ini maka ini menunjukkan bahwa rambut-rambut tersebut
terserah keinginan orangnya, bisa dihilangkan dan bisa dipertahankan.
Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menghilangkan bulu atau rambut di tangan dan kaki.
Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menghilangkan bulu atau rambut di tangan dan kaki.
Jawaban beliau, “Jika bulu-bulu tersebut terlalu lebat maka boleh
dihilangkan karena bulu-bulu tersebut menyebabkan buruknya penampilan.
Namun jika normal maka ada ulama yang berpendapat tidak boleh
dihilangkan karena menghilangkannya termasuk merubah ciptaan Alloh. Ada
juga ulama yang berpendapat bahwa bulu-bulu tersebut boleh dihilangkan
karena Alloh tidak menegaskan hukum khusus untuknya. Sedangkan Nabi
bersabda,
وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ
“Dan semua yang Alloh diamkan maka itu adalah kemudahan dariNya” (HR
Abu Daud no 3800 dari Ibnu Abbas).(Lihat Fatawa al Mar’ah al Muslimah
yang dikumpulkan oleh Asyraf bin Abdul Maqshud 2/548, cetakan Maktabah
Adh-wa al Salaf).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar